32. Melepaskan Gejolak di Dada

4.6K 866 141
                                    

Selamat pagi! 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Selamat pagi! 🥰

Kali ini aku kenalkan kalian sama bunga gerbera. Sering banget aku liat di buket-buket bunga. Bunganya manis. Paling suka sama warna-warna soft kayak pink itu. 👆

Kebut update demi kejar cepat tamat meski masih panjang ini cerita. 😭

Tolong semangatin, ramaikan komentar, yak! 😭🥳

Aku on the way mau nyicil nulis lagi. Biar besok bisa update lagi. 🤗

Happy reading. 😍


====💐💐💐====

Setiap kali risau dan pikiran sudah terlampau kusut, Raga selalu menghabiskan waktu untuk mengitari kota. Tak peduli bila ia mungkin sudah memutari Bundaran HI sebanyak tiga kali. Jalankan saja mobilnya, nikmati jalanan yang bising, biarkan lampu-lampu kendaraan dan bahu jalan menyorot sesukanya. Kalau perlu sampai bahan bakar kendaraan berwarna hitam itu mendekati batas hampir habis dan Raga mengakhirinya dengan sesi mengantre di pom bensin.

Laki-laki itu mengembuskan napas kasar usai membayar isian bensin dan menutup jendela kaca mobil. Ia kembali menjalankan sesi putar-putarnya. Lagi-lagi, Raga selalu sendirian setiap memikirkan masalah-masalah dalam hidupnya.

Kei keterlaluan. Setidaknya itu yang terus ia katakan dalam gusar batinnya. Tak ada yang terjadi meski gadis itu tiba-tiba melepas bolero yang dikenakan saat menyambangi apartemennya. Pun Raga masih berusaha berjengit menjauh ketika mobil berhenti tepat di depan pagar rumah Seto. Gadis itu sengaja memupus jarak, merangkul lengan kiri Raga seraya menyandarkan dagu ke bahunya.

"Nggak ada yang ngajarin kamu bertindak segampangan ini untuk merendahkan harga dirimu, Kei!" gumam Raga sembari melepas rangkulan dua lengan berjemari lentik itu.

"Harga diri?" Kei tekekeh-kekeh sinis. "Aku udah menggadaikannya sejak memilih bertahan nungguin kamu, Mas."

Raga tak menanggapi ujaran gadis itu. Ia memilih turu dan bersegera membukakan pintu mobil. "Terima kasih makan malamnya. Salam buat Om Seto sama Tante Mala," pungkas Raga begitu saja.

Raga meninggalkan Kei yang masih saja memasang senyum sinis saat itu. Dan pukul tiga dini hari, kenapa juga pada akhirnya ia berbelok ke toko bunga ini? Seolah memang di sinilah tempat ia pulang untuk membuang resah dan pikiran ruwet dalam hidup.

**

Perempuan di atas ranjang berselimut rajut itu tak mengantuk. Ia sudah berusaha meneguk segelas susu hangat sampai menghitung domba-domba yang melompat dalam imajinasinya supaya kantuk datang. Tapi sampai dini hari tetap saja tak ada hasil.

Bayangan Tama merangkul pinggang dan menatapnya penuh damba cukup mengganggu pikiran. Bukan ia tergoda untuk menerima satu kecupan hangat dari bibir tipis pria itu. Tanpa sadar, Alika bahkan meneleng ke kiri, membuat ciuman penuh harap itu hanya mengambang di udara tanpa disambut.

Sang PerawanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang