Seharusnya Vania merasa puas karna keputusan Reyhan malam tadi, tapi tak tau mengapa kata-kata itu membuatnya semakin sakit hati.
Aneh memang, ada rasa yang mengganjal dihatinya saat Reyhan pergi begitu saja setelah mengatakan akan segera mengurus perceraian mereka.
Dan sekarang Vania sedang terdiam didepan jendela kamar yang terasa hangat saat sinar matahari menyentuh kulit mulusnya.
Namun tiba-tiba terdengar pintu yang diketuk dari balik kamarnya.
"Vania, saya udah siapin sarapan kamu diatas meja"
Ternyata suara Reyhan. Vania hanya acuh lalu berlanjut menatap arah luar jendela. Seperkian detik suara itu hilang. Vania yakin laki-laki itu sudah berangkat kerja.
Perlahan ia membuka pintu dan tirai yang menjuntai, berniat akan pergi kekamar mandi untuk membersihkan diri.
Namun niatnya diurungkan karna melihat Reyhan yang masih berada disana dengan tangan yang menyangga kepala. Saat ini Reyhan duduk ditepi kasur dengan seragam kerja yang sangat rapi.
"Kenapa gak jadi?" Tanya seorang pria saat Vania memundurkan langkahnya.
"Anggap aja saya gak ada" lanjutnya lalu berdiri menjauh dari kamar.
Vania memberanikan diri mendekati Reyhan yang sudah bersiap membuka pintu.
"Pak..."
Tampak laki-laki itu menghentikan langkahnya.
"Saya mau pindah ke apartemen" putusnya yang membuat Reyhan membalikkan badan.
"Kamu ini kenapa. Saya juga punya hak atas anak itu"
"Ini bukan soal anak pak" bantahnya.
Reyhan melangkahkan kakinya untuk mendekati Vania.
"Jadi apa?"
"Bahkan anak ini belom lahir tapi bapak selalu bahas itu"
"Saya tau akal busuk kamu. Dengan kamu pindah ke apartemen itu bisa bikin kamu bebas bawa pergi dia, dan bikin alasan biar saya gak ketemu sama anak saya. Udahlah Vania saya capek" tuduh Reyhan dengan suara lantang.
"Sedikit pun saya gak punya niatan buruk itu" tekan Vania sambil menahan tangis. "Saya gak bisa pak tinggal disini terus-terusan, saya mau pikiran saya tenang"
"Kurang tenang apa kamu disni? Bahkan kamu gak ngelakuin apa-apa. Yang kerja saya, yang capek saya! Kamu tinggal makan tidur. Apa itu yang kamu bilang kurang tenang?"
"Kalo bapak capek tinggal libur berhari-hari terus habisin waktu sama Oliv seharian tanpa perduli kerjaan kantor. Bapak tinggal limpahin pekerjaan kantor sama saya atau Wili dengan alasan minta tolong. Disini saya lebih capek dari pada bapak!"
Reyhan mengangguk-angguk sambil tersenyum kecewa. "Kamu gak perlu bawa-bawa Oliv! Dia gak tau apa-apa"
"Iya Oliv gak tau apa-apa" lirih Vania sambil tersenyum. "Emang lebih baik dari awal kita gak nikah. Kalo saya tau masa lalu yang bakal bikin bapak bahagia, saya gak akan mau tanda tangan surat itu"
"Maksud kamu apa" tanya Reyhan sambil menarik tangan Vania yang akan pergi.
Vania terus menunduk menyembunyikan air matanya. "Ini gak ada sangkut pautnya sama Oliv" Reyhan melirik jam yang ada dipergelangan tangannya. "Siang nanti kamu dateng kekantor. Saya bakal jelasin semuanya. Sekalian Oliv, kamu bisa tanya hubungan saya sama dia"
Reyhan tampak frustasi melihat Vania seperti ini. Akhirinya ia putuskan untuk melepaskan tangan Vania dan meninggalkan perempuan itu.
Sedangkan Vania segera berjalan dengan langkah lebar menuju kamar mandi. Didalam kamar mandi Vania menyalahkan shower dan ia dudukan tubuhnya dibawah sana sambil terus menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝐋𝐞𝐭'𝐬 𝐬𝐭𝐚𝐫𝐭 𝐚𝐠𝐚𝐢𝐧 (OnGoing)
Fanfiction[FOLLOW SEBELUM MEMBACA!] [JANGAN LUPA VOTE UNTUK MENGHARGAI PENULIS] [DAN JANGAN LUPA COMENT BIAR AKU MAKIN SEMANGAT] Ft. Ji Chang Wook And Im Yoon-ah -------------------------------------------------------------- Reyhan Pradipta Mahendra, pria t...