Special 2: The Last Time is The Precious One (Petra's Eyes)

374 30 5
                                    

'Aku menyukainya'

Kata yang selalu tersimpan di dalam benakku saat aku berjalan berdampingan dengannya.
Saat ini, jalanan kota di dalam dinding Sina. Aku tidak tau pasti nama kotanya.
Sepulang dari minum teh di kedai yang ingin ia kunjungi dan mampir sebentar di toko bunga.
Sebelah tangan yang memiliki jarak padanya, aku lipat kebelakang tubuhku. Menggenggam siku tangan yang ku biarkan lurus karena menggenggam bunga lavender yang barusan aku beli. Buket lavender segar terikat sempurna dengan tali rami yang manis.

Jangan salah paham, ini bukanlah jalan bersisian seperti setelah mengucapkan ikrar pernikahan.
Alasan mengapa aku menyembunyikan buket itu di balik badanku.

Aku menunduk ke bawah melihat langkah kaki dari sepatu pantofel hitam mengkilat di sebelahku.
Menyamakan langkahku dengan langkahnya.
Aku tersenyum, ini sudah merasa lebih dari cukup.

Aku memperlambat jalanku agar ia sedikit berada di depanku.
Seperti biasa kapten tak banyak berbicara.
Hanya diam.
Untunglah sekelilingku ramai orang yang berlalu lalang, ramai penjual yang meneriaki barang dagangan, ramai dengan bisikan para gadis saat kami lewati setelah memandangi paras tampan milik kapten.
Karena jantungku berdegup sangat kencang, khawatir bila ia mendengarnya.

Aku berjalan menghadap ke depan, ke arah jalanan yang sebentar lagi akan sampai pada sebuah padang rerumputan.
Diam-diam aku memandangi tengkuk leher milik kapten. Terlihat menggoda.
Rambut hitam legam miliknya pasti halus kalau aku sentuh. Ia benar-benar merawat rambut bahkan memotongnya sendiri dengan potongan kuku. Aneh tapi aku suka.

Beralih pada pemandangan di hadapanku. Menghirup dalam-dalam aroma musim semi melalui sayup angin yang berhembus lembut. Tercium bau rerumputan yang segar dan serbuk bunga liar yang manis.
Terbentang luas rerumputan yang berselimut warna jingga, senada dengan warna langit.
Aku memejamkan mata, menikmati kehangatan sinar mentari senja.

Ini hanya bisa ku nikmati di musim semi.

Akankah aku bisa merasakannya lagi?

Aku tak bisa berjanji musim semi di tahun depan.
Bahkan di musim panas yang akan datang.

Orang menyebutnya sebuah firasat.
Pada perasaan asing yang tak bisa diungkapkan.
Pada perasaan akan sia-sia bila diceritakan.
Pada perasaan saat memejamkan mata hendak tidur akan bisa menangis semalaman dan membuatnya tak bisa tidur.

Apakah aku telah berlebihan?
Apakah itu bisa dinamakan dengan firasat buruk?

Pertanyaan-pertanyaan yang selalu muncul ketika firasat itu tiba.
Lebih baik memberanikan diri segera membuka mataku.

Aku menyukai pemandangan senja ini.
Bukan karena warnanya yang sama dengan rambut atau manik mata yang ku miliki, karena ini mungkin adalah untuk terakhir kalinya.
Dan juga kapten Levi, aku sudah memandanginya lekat-lekat sepanjang perjalanan tadi. Ya, karena ini mungkin adalah untuk terakhir kalinya.

Karena yang terakhir adalah sesuatu yang paling berharga, bukan? Seperti halnya piring yang kau makan ada roti bawang, sup sayuran dan daging panggang. Lalu akan menyisakan daging panggang itu di bagian akhir, memberi jeda waktu agak lama karena kau menyukainya sebagai penutup palet lidah untuk dirasakan.

Kembali memejamkan mata menghirup setiap hela musim semi yang akan ku rindukan.

"Ayo kita harus segera kembali ke markas sebelum gelap" suara kapten Levi memecah lamunan.

Aku berusaha untuk tersenyum dan mengangguk pelan. Sepertinya kapten tidak tau kalau aku sejak tadi memperhatikan dan memikirkannya.

================================
#Canon: dari wawancara Yams Levi tidak pernah mengubah gaya undercut rambutnya sejak kecil. Dan memotongnya dengan potongan kuku. Bila pun agak panjang, dia akan mengikatnya ke belakang.
______________________________________

Untold Story: Petra RalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang