Pamit. Satu kata yang sangat sulit diriku lakukan. Walaupun dalam diri ada semangat baru untuk menghadapi tantangan. Tetapi, sebagian dalam diriku juga merasa enggan meninggalkan kota kelahiran. Terlebih, meninggalkan suatu tanggung jawab pada Mbak Vava seorang diri.
Menghela napas aku menatap ke arah jam dinding.
Jam dinding yang berada di kamar telah menunjukkan angka 04. 14 Wita. Berarti aku masih memiliki waktu sebelum berangkat menuju Bandar Udara Internasional Sultan Hasanuddin.
Aku berpikir untuk memberikan kabar pada orang-orang yang membantu diriku dalam mengurus komunitas. Terlebih pada seorang gadis yang telah aku anggap seperti saudari.
Tiba-tiba saja terlintas dalam benak jika aku tidak perlu untuk memberitahukan kepada mereka. Sebab, bisa saja mereka tidak akan peduli. Namun, aku tetap melakukannya. Mengingat tidak mungkin diriku menghilang di tengah komunitas yang sedang dalam mengurus kelulusan para anggotanya.
Mengotak-atik ponsel mencari satu kontak yang aku beri nama dengan tulisan Jepang. Tidak lain adalah Founder komunitas. Kemudian, aku mencari surat izin untuk tidak ikut andil dalam kegiatan Komunitas Lily of the Valley selama beberapa bulan lamanya. Setelah menemukam surat tersebut, aku pun mengirimkannya lewat pesan whatsapp.
Lily of the Valley adalah Komunitas yang aku dirikan bersama dengan Mbak Vava dengan tujuan menciptakan generasi cinta akan dunia literasi. Dalam komunitas tersebut memiliki tiga pemimpin yang saling membahu satu sama lain. Aku termasuk salah satu di antaranya.
Itulah alasan kuat mengapa diriku harus pamit pada mereka untuk beberapa bulan ke depan. Agar mereka tidak merasa aku adalah seseorang yang lari akan tanggung jawab tanpa alasan yang logis.
Pesan yang terkirim menampilkan centang dua berwarna abu-abu. Artinya, Mbak Vava sedang online saat ini. Aku berpikir untuk menunggu balasan pesan dari Mbak Vava saja.
Mungkin tidak akan lama. pikirku
Hingga, detik berganti menit pesan yang aku kirim telah berubah warna biru. Tapi, tak kunjung mendapat balasan.
Aku menghela napas dan berusaha menghilangkan pikiran-pikiran negatif yang bersarang di otak kecil.
"Ayra! Kamu gak boleh berpikir seperti itu, mungkin saja jaringan dia sedang loading kan," hiburku untuk diri sendiri.
Namun, sepertinya kini ada beberapa anak panah menancap di dada, tepat dekat dengan hati. Ketika mengetahui jika Mbak Vava membalas pesan orang lain, sementara pesanku hanya dianggurin.
Aku tertawa miris. "Harusnya gak usah berharap. Kan, sakit sendiri." ucapku.
Tidak ingin membuang waktu untuk memikirkan sakit hati, aku beralih mencari kontak Lavasha. Gadis kelahiran semarang yang usianya di bawahku. Tapi, aku lebih suka memanggilnya dengan sebutan Kak. Karena saat namanya di sebut dengan kata Kak itu sangat enak aku dengar dibandingkan dia yang memanggilku dengan sebutan Kak.
"Dek," panggil seseorang membuatku melepaskan pandangan dari benda pipih yang sedang menampilkan room chat bersama dengan Lavasha.
Meletakkan ponsel. Kemudian aku berjalan mendekati Alfa yang tengah berdiri di depan pintu kamar, mengenakan switer senada dengan gamis yang aku pakai.
"Kenapa itu belum dimasukkan ke dalam koper?" tanya Alfa menunjuk gamis-gamis yang masih berhamburan di atas tempat tidur.
Aku menepuk jidat. "Astagahfirullahaladzim." ucapku.
Kemudian memberikan senyum lima jari padanya. "Ayra lupa, Bang. Keasikan main ponsel sih," ucapku membuat dia menggelengkan kepala.
"Yaudah. Buruan gih, masukin gamis-gamisnya ke dalam koper," tutur Alfa.
Aku mengangguk dan segera berjalan ke arah tempat tidur.
"Ingat! Jangan sampai ada yang ketinggalan ya,"
Aku menoleh menatapnya. "Abang ngapain sih, di situ? Masuk aja kali." ucapku dan kembali memasukkan gamis ke dalam koper.
"Kamar adek berantakan. Jadi abang di luar aja," ungkapnya membuat aku mendumel.
"Namanya juga lagi beberes bang... Ya, berantakan lah,"
"Hm," dehem Alfa. "Kalau adek udah selesai langsung ke bawah aja ya," katanya lagi.
"Lho, terus adek bawa koper segede ini sendiri ke bawah gitu?" tanyaku
Melihat Bang Alfa menggeleng aku menghela napas lega.
"Nanti kopernya dibawa Nur,"
Aku pun mengangguk dan setelahnya bang Alfa pergi meninggalkan aku yang tengah beberes.
Ting
Melirik ke arah ponsel tersebut. Betapa lega rasanya ketika pesanku telah mendapat balasan dari Mbak Vava.
Padahal, aku telah berpikir jika mbak Vava akan mendiami diriku selama-lamanya.
Oh iya, saking asiknya bercerita aku sampai lupa memperkenalkan diri pada kalian.
Namaku Azkayra Hafidzah Kareem. Muslimah yang dihormati karena kemurahan hatinya, serta dapat menjaga nama baik keluarganya dan orang disekitarnya. Begitulah doa dan harapan yang terdapat dalam namaku.
Semua orang mengenalku dengan nama Ayra. Nah, cowok yang tadi berbicara denganku adalah Muhammad Alfarizi Hafidz Kareem. Dia adalah saudara laki-laki yang aku miliki. Type cowok dingin, dan senyumannya hanya bisa dinikmati ketika dia berkumpul bersama keluarga.
Salam Hangat
Tata💗
KAMU SEDANG MEMBACA
AFWAN
RandomManusia hanya bisa berencana. Namun, Allah yang menentukan hasil Akhirnya. *** Afwan... Satu kata yang ingin disampaikan kepada orang-orang yang aku sayangi. Kata yang ingin sekali, aku sampaikan pada Abang untuk terakhir kalinya. Namun, hanya sebua...