#008: Afwan

16 5 0
                                    

Part 8

"Gunakan senyuman untuk mengubah dunia. Jangan biarkan dunia lah yang mengubah senyuman itu."

~Afwan

Selamat Membaca💗

"Bang, sudah dulu ya, telponnya? Abang kan, harus bersiap ke Masjid," kataku.

Bukan tanpa alasan aku mengatakan hal tersebut. Karena waktu shalat dzuhur di Sulawesi terhitung lima menit lagi jadi, aku mengatakan hal tersebut. Mengingat, kebiasaan Bang Alfa yang selalu menunaikan shalat dzuhur berjamaah di Masjid. Aku tidak mau, karena terlalu asik berbicara padaku membuang saudara laki-laki ku itu lupa akan Sang Pencipta.

"Baru aja, abang mau bilang," kekeh Bang Alfa di seberang sana.

"Dih, bohong dosa loh, Bang," godaku membuat Bang Alfa menggelengkan kepala.

"Yaudah, Abang tutup telponnya ya? Adek gak usah pikirin Si Rifki, Rifki itu. Kaya biasa aja, adek bersikap bodoamat. Okey?" katanya membuat aku mengangguk dan kemudian sambungan telpon pun terputus.

Menghela napas, aku pun beranjak dari taman dan kembali ke Asrama.

"Ayra?!"

Aku berusaha menajamkan penglihatan pada seseorang yang melambaikan tangan di depan halaman Asrama. Ternyata, di sana ada Hendra dan seorang cewek yang tidak dapat aku kenali wajahnya dari jarak yang jauh. Sebab, aku memiliki minus pada mataku.

Akhirnya, aku telah berada dihadapan kedua orang yang berjenis kelamin berbeda. Melihat wajah seorang cewek di sebelah Hendra membuat aku mengingat-ingat. Dimana aku pernah melihat wajah tersebut. Hingga, aku teringat akan satu hal, yaitu cewek yang menatap Hendra dari atas balkon kamar saat aku menginjakkan kaki di asrama ini.

"Lho, kakak yang tadi di balkon kamar atas itu kan?" tanyaku memastikan.

Cewek tersebut mengangguk. Namun, ada yang aneh menurutku. Tapi apa? batinku bertanya. Aku pun menepis segala pikiranku.

"Em, Bang Hendra kenapa panggil Ayra?" tanyaku.

"Oh ... gw kebetulan mau keluar nih, bareng Ina. Lu mau ikut gak?"

Aku berpikir sejenak seraya menatap keduanya secara bergantian.

"Sebelumnya, Ayra terimah kasih nih, Bang Hendra sudah repot-repot ajakin Ayra. Tapi maaf ya, Ayra gak bisa ikut kalian. Gak apa-apa kan?"

Bukan tidak bisa. Melainkan aku sangat paham apa yang tengah cewek yang bernama Ina itu pikirkan. Jika aku ikut, maka dia akan merasa aku menganggu waktu kebersamaan dia bersama Hendra. Ya, walaupun aku tidak tahu apa hubungan diantara keduanya. Namun, yang bisa ku tangkap dari lirikannya ketika Hendra mengajak aku adalah penolakan. Dia seakan tidak setuju, jika Hendra mengajak aku. Dari tatapannya pun aku bisa melihat ada rasa takut di sana. Takut jika aku akan merampas apa yang menjadi miliknya.

Aku segera beristigfar lantaran sadar jika kita tidak boleh berprasangka buruk pada orang lain. Karena Allah sangat membenci hal tersebut.

"Lu yakin nih?"

Aku melirik Hendra dan mengangguk. Setelahnya, kedua orang itu pun pamit padaku. Mobil yang membawa keduanya telah menghilang dari pandanganku.

Helaan napas aku keluarkan. Sejak pertama menginjakkan kaki di asrama sungguh, begitu banyak drama yang ditemukan. Tanpa tahu apa sebab dari drama tersebut. Aku terus melangkah untuk mencapai pintu Asrama dengan segala pikiran akan kemungkinan-kemungkinan yang akan aku hadapi setelah ini. Hingga aku melihat seorang cowok yang berjalan dari arah yang berlawanan dengan aku. Dia adalah Rifki.

AFWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang