#018: Afwan

8 3 3
                                    

Part 18

"Selama manusia mendekat kepada-Nya, dan Al-Quran selalu ada di hati. Maka, hidup tidak akan terombang-ambing."

@Afwan

Dalam syahdunya malam, aku berdiri mengerjakan shalat tahajud di sepertiga malam. Dimana, ada ketenangan batin dan jiwa yang tak dapat ditandingi oleh apapun. Ayat demi ayat al-qur'an terlantun dari bibir tebalku. Hingga, di sujud terakhir, tiga doa pun tak pernah terlewatkan. Doa yang setiap kali membacanya, membuat aku menangis di atas sajadah dan selalu terbayang tentang kematian yang menjadi misteri dan tidak ada satu orang pun tahu kapan kita akan berpulang?

Selepas salam, kedua tangan digabungkan untuk meminta kepada-Nya. Pada Dia yang mengatur skenario kehidupan manusia.

Seiring doa yang terpanjatkan, air mata tak hentinya keluar menerobos, membuat isakan tangis kian memilukan. Tidak ada hal yang dapat manusia lakukan selain mendekat pada Sang Pencipta, ketika kegelisahan menyelimutinya. Sebab, yang berkuasa atas segala sesuatu adalah Allah, dan Dia lah yang telah menciptakan hati manusia. Maka, tanpa Allah hati akan terombang-ambing dalam kegelisahan.

"Allah itu maha tau kejadian yang telah lalu, masa sekarang, dan masa yang akan datang, Dek."

"Jadi, ketika ada hal yang menganggu hati adek, jangan pernah enggan untuk berlari ke Allah, mengadukan segala hal yang berkecamuk di hati adek, okey?"

Kalimat yang pernah Bang Alfa berikan padaku tergiang, membuat aku sadar. Tidak seharusnya aku berlarut dalam kegelisahan karena sebuah mimpi buruk yang belum tentu akan terjadi. Bisa saja, itu adalah cara setan untuk mengelabui.

Dengan helaan napas panjang, aku pun mengakhiri doa. Lalu, berjalan ke arah meja belajar mengambil mushaf berwarna hijau, pemberian mama, dan memilih untuk murojaah hafalan surah yusuf.

"Qooluu tallaahi tafta'u tazkuru Yuusufa hattaa takuuna haradan aw takuuna minal haalikiin."

Mereka berkata, "Demi Allah, engkau tidak henti-hentinya mengingat Yusuf, sehingga engkau (mengidap) penyakit berat atau engkau termasuk orang-orang yang akan binasa." (QS.Yusuf: 85).

"Qoola innamaaa ashkuu bassii wa huzniii ilal laahi wa a'lamu minal laahi maa laa ta'lamuun,"

Wahai anak-anakku! Pergilah kamu, carilah (berita) tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya yang berputus asa dari rahmat Allah, hanyalah orang-orang yang kafir." (QS.Yusuf: 87).

"Ayra?"

Bibirku terkatup mendengar suara tersebut. Aku pun menoleh menatap ke arah tempat tidur. Dimana, Rara yang tengah duduk melihat ke arahku dengan wajah bantalnya.

"Mbak Ra, keganggu ya, dengar suara cempreng Ayra?" kataku dengan cengiran.

"Eh, gak kok, tadi aku cuma penasaran aja, karena tumbenan dengar suara ngaji jam segini. Jadi, kebangun deh, tau-taunya kamu toh, mana adem lagi suaranya."

"MasyaAllah, aamiin allahumma aamiin," sahutku dengan senyum tipis tak lupa dengan istigfar dalam hati. Takut-takut, karena pujian dari Rara buat aku berbesar kepala.

"Kamu habis tahajud ya?"

"Iya, Mbak Ra."

"Owalah, ya, sok, lanjut aja, ngajinya aku juga mau ngambil wudu nih, buat salat tahajud,"

"Lho, mbak udahan pms nya?" tanyaku yang diangguki oleh Rara.

"Harusnya bilang atuh, Mbak. Biar tadi Ayra bangunin. Kita kan, jadi bisa salat bareng,"

"Kamu aja, yang gak nanya ke aku," tutur Rara membuat aku membolakan mata. Apa-apaan kaya gitu?

"Udah, ah, aku mau ambil wudu dulu, good bye!"

***
"Pagi-pagi nyium aroma enak, buat gw lapar aja,"

"Heh! Asal nyomot aja tuh, tangan. Sana cuci tangannya dulu!" ucap Rara berkacak pinggang membuat aku terkekeh melihatnya.

"Iya-iya, udah kaya mommy gw aja lu, Ra!"

"Apa lu bilang?!"

"Masih pagi juga udah pada ribut. Lebih baik lu ikutin perintah nyonya besar, Rif. Sebelum peperangan dunia ketiga terjadi," sahut Hendra ikut nimbrung.

"Ck! Gak ada yang waras kalian berdua," Rara pun kembali ke arah dapur, meninggalkan aku yang masih berdiri di meja makan.

"Ay?"

Panggilan dari suara itu membuat aku menghela napas. Entahlah, setiap orang itu bersuara pasti aku memasang alarm bahaya di kepalaku.

"Kalian cuci tangan gih, Ayra masih mau ambil masakan lain di dapur, permisi."

Lebih baik menghindar bukan? Dari pada membuat suasana di pagi hari ini, rusak.

"Mbak, masih ada yang perlu dibawa ke meja makan gak?" tanyaku pada Rara yang baru saja ingin melangkah keluar dari area dapur.

"Gak ada Ay, ini yang terakhir."

"Yaudah yuk, kita ke meja makan sarapan," tutur Rara.

"Okey, selesai." Rara tersenyum dengan bangga, membuat aku menggelengkan kepala.

"Yuk, Ay, kita duduk ikut sarapan."

"Em ... duluan aja, kak. Ayra ke atas dulu manggil Mbak, Zulfa."

Sebenarnya memanggil Zulfa hanya alibiku saja. Sebab, kejadian sewaktu Rifki membentak aku di meja makan terus saja menghantui pikiran, membuat aku sedikit tidak nyaman jika berada satu meja dengan cowok tersebut.

"Lho, Ayra ngapain ke sini?"

Suara nan lembut membuat kesadaranku kembali dan tersenyum lebar.

"Huaa ... Kangen banget sama Mbak Zulfa!"

"Kenapa nih, meluk-meluk? Biasanya kalau aku pengen meluk kamu, kamu nolak,"

Aku tertawa mendengar Zulfa berkata seperti itu. Memang benar aku tidak suka jika dipeluk, tapi kalau aku yang memeluk mah, it's okey. Aneh memang, tapi ini aku, Ayra Azkayra Hafidzah kareem, yang kata orang-orang cewek teraneh dimuka bumi.

"Kan, Ayra yang meluk Mbak, bukan dipeluk,"

"Halah, sama aja, itu mah,"

"Beda sayangnya Ayra,"

Zulfa memutar bola matanya, membuat aku terkekeh.

"Oh Iya!"

"Ayra tuh, ke sini buat ngajak Mbak sarapan. Udah di tunggu sama yang lain juga, yuk!" ucapku seraya menarik tangan Zulfa menuruni tangga.

"Kok, berhenti, kenapa?"

Kepalaku menoleh ke samping kanan, lalu kembali menatap ke depan. Dimana, beberapa langkah lagi, kami akan berada di meja makan. Namun, kakiku seakan enggan untuk melanjutkan langkah.

Menghela napas, aku pun berkata, "Mbak Zulfa lanjutin jalannya ke meja makan ya, Ayra mau ke kamar."

"Lah, kenapa?"

"Em, Ayra gak ikut sarapan dulu deh, lagi malas makan,"

Zulfa memicingkan matanya. "Kamu gak lagi meghindari Rifki, kan?"

Tentu saja aku kaget mendengar tuduhan tersebut. Namun, segera mungkin aku mengubah ekspresiku seperti semula.

"Mbak Zulfa ngomong apa sih?" kataku,

"Suka benar banget kalau ngomong." aku pun segera berbalik badan dan melangkahkan kaki meninggalkan Zulfa.

Salam Hangat

Tata💗

AFWANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang