"Kamu kenapa?" sambung Andi, yang kini berusaha melepaskan dekapan Meli. "Ahh jangan di lepas dulu! Ituu usir dulu ...," kata Meli. "Apanya yang mau di usir?" tanya Andi mencoba menenangkan Meli.
"Huahhhh! Ada kodok, Pak! Gede lagi. Ihhh, geli tahu!" Meli memejamkan matanya ketakutan. Andi terkekeh kecil. "Kamu takut kodok? Bilang aja alasan mau peluk saya," katanya meledek. "Kodok nggak makan orang," sambungnya.
"Bukan takut! Tapi geli!" ucap Meli membela diri sendiri. "Intinya kamu takut!" kata Andi, kemudian segera melepaskan dekapan Meli.
"Ihh kok di lepas?" Meli menatap Andi bingung. "Saya lepas dulu. Biar saya usir kodoknya. Kamu itu aneh."
Mendengar ucapan Andi barusan membuat Meli tertawa geli. "Nanti kalau kodoknya, tiba-tiba ludahin Bapak gimana? Nanti, badan Bapak bentol-bentol loh. Gak takut?"
Andi tersenyum simpul. "Ini, kodoknya!" Laki-laki itu malah menangkap kodok tersebut, kemudian segera melemparkannya pada Meli. Alhasil, Meli berlari keliling halaman karena takut setengah mampus. Sungguh! Dia berlari terbirit-birit. Terlihat sangat tolol.
"BUNDA! BUNDA!" teriaknya panik. Bukannya menolong, Andi malah mengeluarkan ponselnya dari dalam saku, kemudian segera merekam aksi konyol Meli. Mungkin suatu saat bisa menjadi ancaman.
Fatim, yang panik buru-buru keluar dari dalam rumah. Kali ini, Meli malah menghampiri Fatim, dan-Mereka berdua malah berlari ketakutan. Andi menepuk keningnya pelan. Setelah merekan video kocak Meli, laki-laki itu segera berlari untuk menghampiri Fatim dan Meli.
Setelah mengusir kodoknya jauh-jauh, Andi tersenyum simpul sembari menepuk-nepuk tangannya. "Udah, beres," ucapnya. Fatim dan Meli kompak, berkacak pinggang di hadapan Andi, membuat laki-laki itu menelan ludah gugup. Andi buru-buru memohon ampun. "Maaf, Bunda. Andi janji gak bakalan nakal lagi."
Fatim menghela napas kesal, kemudian geleng-geleng kepala. Setelah itu, perempuan paruh baya itu melangkah pergi.
Meli menatap Andi empat mata. "Bapak gak minta maaf sama saya?" tanyanya menggebu-gebu. Andi mengangguk pelan. "Saya minta maaf. Tapi, kamu lucu juga kalau panik," katanya kemudian tertawa kecil.
Meli mengepalkan kedua tangannya. "Saya doain, Bapak bakal nikah sama ratu kodok!" teriak, Meli, kemudian berlalu pergi dari sana. Andi terbahak.
Laki-laki itu kembali teringat saat ia dan Ferdy benar-benar kompak saat menempuh sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama. Andi tersenyum saat melihat wajah Meli saat itu. Ferdy malah menepuk punggungnya pelan. "Cantik kan, Ndi? Adik gue nih. Nanti lu nikahin dia aja. Biar gue kagak capek cariin cowok yang baik buat dia."
"Dan sekarang, gue malah nggak nyangka bisa ketemu adek lu, cosplay jadi siswa di tempat gue ngajar, Fer." Dia bermonolog.
*****
"Bun, aku nggak suka sama dia. Nyebelin banget tau?! Biar apa coba, kodok di lemparkan ke aku? Bunda tau sendiri! Aku trauma sama kodok!"
"Andi itu sebenarnya anak baik. Temen Ferdy dulunya. Waktu SMA, dia pindah ke New York. Sekarang aja, ayahnya ada di New York. Dia cuman iseng aja tadi. Kamu jangan marah-marah gitu dong," kata Fatim. Meli menatap Bundanya itu kesal. "Baik gimana? Meli jadi nyesel bantuin dia tadi. Buang-buang tenaga aja." Meli menggigit apelnya kesal.
Fatim terkekeh kecil. "Udah, lupain aja kali, Mel. Dia sama abang kamu Ferdy kan, dulu juga suka isengin kamu," ucapnya. Meli mengunyah apelnya kesal. "Emm, terus Mamanya Pak Andi ke mana?" tanyanya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story about Melina [END]
Подростковая литератураStart : 24 Oktober 2021 End : 11 Maret 2022 [BUKAN UNTUK DI COPAS] [Judul awal : Dear math teacher] Andi tak menggubris apa-apa. "Masih ada yang mau bertanya?" tanyanya. Semuanya hanya diam. Pandangan Andi beralih pada Meli. "Kamu?" tanyanya. Me...