"Namanya Labuan Bajo."
Andi mengangguk mengerti. "Ini baru pertama kalinya saya ke sini hahaha. Udah umur segini, baru bisa ke sini."
"Kang Andi tahu gak, saya sering ke sini."
"Oh yah?"
"Iya." Karen mengambil ancang-ancang untuk berdiri sedikit di ujung tebing. "Hati-hati, Ren!" seru Andi refleks, sembari memegang tangan Karen. Karen terkekeh kecil. "Iya, Kang. Gak usah khawatir."
"AAAAAA!"
"LABUAN BAJO! SAYA DATANG LAGI! KALI INI GAK SENDIRI. SAYA BAWA TEMEN! JADI JANGAN LEDEKIN SAYA!" teriak Karen, membuat Andi tertawa kecil. "Emang kamu pernah di ledekin yah, Ren?"
"Yah, enggak sih." Karen menoleh. "Kang Andi gak mau coba?"
"Coba apa?"
"Teriak, kayak saya." Andi mengangguk pelan. Ia berjalan pelan, kemudian berdiri tepat di sebelah Karen.
"AAAAA! SAYA MAU LAPORAN. SAYA LAGI KANGEN SAMA PACAR. PENGEN KETEMU, TAPI SUSAH." Saat itu pula, senyum Karen memudar. Karen pikir, dia masih punya kesempatan. Sepertinya tidak.
Menyadari Karen yang sudah tak excited tadi, Andi meliriknya. "Kenapa, Ren?" tanya Andi. Karen menggeleng kemudian tertawa kecil. "Kangen itu kayak penyakit yah, Kang? Obatnya itu cuman satu. Ke temuan."
Andi tersenyum simpul. "Kamu bener. Kalau gak ketemu, yah sakitnya gak bakalan sembuh-sembuh."
"Hahahaha."
*****
Meli memandang secarik kertas di tangannya. "Ini kan, alamatnya?" tanyanya bermonolog. Ada banyak hal yang ingin Meli sampaikan pada Rafli. Termasuk, alasan kenapa dia hampir bunuh diri kemarin. Belum sempat melangkah, kepala Meli berdenyut nyeri. Lutut Meli seketika runtuh. Semuanya berubah menjadi gelap.
Pak Satpam yang berjaga di sana, buru-buru menghampiri Meli. Ini baru pertama kalinya, ia melihat Meli. Karena bingung ingin berbuat apa, pada akhirnya ia mengetuk pintu rumah Rafli. Perempuan berseragam putih abu-abu keluar dengan tatapan bingung.
"Kenapa, Pak?" tanyanya.
"Itu, Neng. Anu .... Ada yang pingsan. Saya gak kenal siapa."
Setelah mengucapkan hal tersebut, Rafli keluar dari dalam kamarnya. "Siapa?" tanyanya bingung. Pak Satpam tersebut menggeleng. "Ndak, tau."
Pada akhirnya, Rafli mengikuti Pak Satpam berjalan ke arah Meli yang tak sadarkan diri. Rafli berjongkok, kemudian mendapat sebuah kertas yang sempat ia berikan pada Meli, kala itu.
Buru-buru Rafli menyisihkan sebagian rambut yang menutupi wajah Meli. Mata Rafli membulat terkejut. Segera laki-laki itu menggendong Meli ala bridal style, membawanya masuk, ke dalam rumah, di bantu oleh Pak Satpam yang membawa tas Meli masuk.
Kesya sama terkejutnya seperti Rafli. "Meli? Kok dia bisa sampai ke sini?" tanyanya, sembari mengikuti Rafli yang kini, menidurkan Meli di sofa. "Makasih, Pak. Udah kasih tau kami."
Pak Satpam tersebut mengangguk, kemudian meminta ijin, untuk pergi dan kembali bertugas.
"Sya, ambilkan teh," kata Rafli. Kesya mengangguk kemudian berlari ke dapur. Rafli memandang wajah teduh Meli dengan tatapan mendelik. Rambut yang di kenakan Meli sepertinya- "Wig?"
Rafli kaget, saat rambut Meli terlepas. Saat itu pula, Rafli tau. Meli memotong rambutnya, bak seorang pria. Ada bekas luka jahitan baru di bagian belakangnya. Sekarang Rafli sadar. Mungkin, kepala perempuan itu sakit, karena luka jahitan ini.
Pertanyaan berikutnya yang muncul di benak Rafli adalah- "Apa Meli terluka kayak gini, karena percobaan bunuh diri juga, kayak kemarin?" tanyanya bermonolog.
Kesya datang dari arah dapur, sembari membawa segelas teh.
Sama seperti Rafli, dia juga ikutan kaget saat melihat wig yang sudah terletak di atas meja. "Kamu tau, kenapa dia sampai kayak gini?" tanya Rafli.
Kesya menggeleng. "Gatau. Lagi pula, emangnya penting buat aku? Toh di sekolah, dia itu musuh bebuyutan ku." Kesya meletakkan gelas tersebut, ke atas meja.
"Sya. Gak boleh kayak gitu."
"Habisnya dia nyebelin tau, Bang. Bayangin aja deh, gara-gara aku pernah post foto dia di akun gosip sekolah, dia marah-marah. Sejak saat itu, dia pasang bendera peperangan sama aku. Yah, walaupun bukan cuman karena itu sih. Dia deket sama cowok yang aku suka. Walau, sekarang aku lagi berusaha move on sih. Hehehehe."
Rafli menghela napasnya. "Abang jadi curiga. Luka di kepala Meli, karena dia coba-coba bunuh diri. Tapi gagal." Kesya mengedikkan bahunya. "Tapi, setau aku sih, dia kayak gitu karena kecelakaan."
"Kecelakaan?" Rafli menaikkan sebelah alisnya. Kesya mengangguk. Pergerakan dari Meli, membuat Kesya dan Rafli menoleh. Meli perlahan membuka kedua matanya. Dia menyentuh kepalanya. Saat itu pula, dia berubah panik. "Wig, gue-"
"Tenang aja. Gue gak bakalan post di akun gosip lagi kok." Saat mendengar suara Kesya, Meli membulatkan matanya sempurna.
"Lo, ngapain di sini?" tanya Meli, membuat Kesya tertawa sarkas. "Lo gila kali ya. Ini rumah gue!"
Meli mengedipkan kedua matanya berulang kali. "Bukannya ini rumah-"
"Kesya, adik saya," jawab Rafli. Membuat Meli mengangguk mengerti. Rafli memberikan gelas tersebut. "Kamu minum dulu."
Meli menerima gelas tersebut, kemudian segera meneguknya. "Makasih," katanya.
Rafli tersenyum kemudian mengambil alih gelas, dan meletakkannya di atas meja. Meli segera memakai wignya kembali.
"Kamu ke sini-" Ucapan Rafli terpotong. "Saya mau bicara soal kejadian kemarin."
Seminggu sudah berlalu. Meli sudah terbiasa menjalani hidupnya, walau sekarang, banyak yang mengucilkannya. Meli sudah tak peduli lagi, soal itu. Saat hendak melangkah ke dalam ruangan kelasnya, Faiz malah memunculkan dirinya tiba-tiba, membuat Meli mengelus dada terkejut.
"Mel. Aku mau ngomong sesuatu sama kamu."
Meli menghela napasnya. "Ini, masih pagi. Gue harap, lo gak buat pagi gue, berantakan."
"Mel, sebentar aja." Meli menggeleng tak peduli. Dia berjalan meninggalkan Faiz di ambang pintu. "Ada yang mau gue omongin tentang Tia, Mel." Meli membeku mendengarnya. Perempuan itu berbalik. "Apa?" tanyanya cepat.
*****
Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story about Melina [END]
Teen FictionStart : 24 Oktober 2021 End : 11 Maret 2022 [BUKAN UNTUK DI COPAS] [Judul awal : Dear math teacher] Andi tak menggubris apa-apa. "Masih ada yang mau bertanya?" tanyanya. Semuanya hanya diam. Pandangan Andi beralih pada Meli. "Kamu?" tanyanya. Me...