Andi menyerahkan ponselnya. Meli menerimanya, kemudian menempelkannya di telinga. “Halo, Bunda?”
“Bunda kangen sama kamu.”
“Ihh Bunda plagiat tahu! Meli juga kangennn. Kapan pulangnya sih?” Fatim tersenyum dari seberang sana. “Kamu nggak nyusahin Andi kan?”
“Eh? Nggak yah! Malahan Pak Andi yang nyusahin Meli. Eh maksudnya Kak Andi.” Andi hanya geleng-geleng kepala dibuatnya. “Andi nyusahin kamu? Kayaknya gak mungkin.”
“Iya, loh Bunda. Kemarin Kak Andi sakit. Meli yang rawat tau!” Andi menghela napasnya dalam-dalam, kemudian memilih untuk melangkah pergi dari sana.
“Hm, Bunda juga mau bilang, kalau Ayah kamu bakal pulang sama Bunda.”
“Seriusan, Bun?”
“Iya. Ayahmu bilang, dia kangen mancing ikan sama kamu.”
“Hahahaha. Ayah sih, ngapain coba, kerja jauh-jauh di Jepang kalau bisa di sini aja? Emm Bunda. Ayah apa kabar, Bun?”
“Ayah baik-baik aja. Sekarang lagi tidur. Tapi, besok Bunda sama Ayah harus ke rumah sakit lagi.”
“Loh? Ayah belum sembuh ya? Jadi, Bunda kapan pulangnya?”
“Hm, mungkin empat hari lagi, Meli.”
“Ih itu mah lama lagi!”
“Kan dari dulu juga, Bunda bilang semingguan.”
“Iya, Bun. Tapi kan bisa di percepat!”
“Enggak semudah itu, Meli. Bahkan mungkin lebih lama dari itu. Kamu yang sabar yah?” Meli segera memutuskan sambungan telepon. Gadis itu menjauhkan ponsel Andi jauh-jauh darinya. Napasnya naik turun. Andi kembali dari dapur. Ada satu gelas kopi di tangannya.
“Udah?” tanyanya.
“Udah!” Meli segera bangkit dari sana, kemudian duduk menjauh dari Andi. Andi hanya bisa mengernyitkan keningnya heran. Laki-laki itu, meletakkan gelas kopinya di atas meja, kemudian berjalan menghampiri Meli. Duduk di sebelahnya.
“Ada masalah?” tanya Andi.
“Semua orang itu, kenapa gak peduli sama gue sih? Emang di pikir enak kayak gini terus? Semua keluarga ninggalin gue, gue di telantarin sama orang yang baru-baru ini gue kenal. Pantes? Ini semua karena Ayah! Semuanya karena Ayah! Coba aja, kalau Ayah gak kerja, terlalu banyak. Mungkin gak bakal sakit kayak gini! Mungkin Bunda gak bakal pergi jauh-jauh ke Jepang!”
“Hei, kamu gak bisa nyalahin Ayah kamu kayak gitu. Ayah kamu kerja buat kamu juga kan?” Andi tersenyum simpul. “Meli, kamu harus ngertiin orang tua kamu.”
“Gak usah, sok nasehatin saya. Saya tahu apa yang saya lakuin.”
“Meli ....”
“Bapak tahu apa sih sama keluarga saya? Keluarga saya, yah keluarga saya. Urusan saya. Bukan urusan Bapak.”
“Iya, saya tahu. Saya cuman, hm ....”
“Apa?”
“Saya udah anggap kalian keluarga saya, sejak saya berteman dengan Ferdy.” Meli menarik napasnya dalam-dalam. “Saya pengen berkumpul sama keluarga saya, Pak. Itu aja! Ayah udah lama banget di Jepang. Tahun baru, Ayah juga gak balik. Pas, saya ulang tahun, Ayah juga gak pulang. Ayah itu, tahunya cuman kerja, kerja terus!” Andi mengelus bahu Meli pelan.
“Ssst udah,” ucapnya.
“Saya iri sama temen-temen yang bisa dekat sama Ayahnya. Di antar pulang balik sama Ayahnya. Lah saya? Saya punya Ayah. Tapi kayak gak punya. Bahkan, teman saya mikir, saya anak Yatim. Bapak pikir enak? Dan sekarang, Ayah buat Bunda gak punya waktu sama saya.” Meli menghela napasnya dalam-dalam.
Andi tersenyum simpul, kemudian menarik Meli ke dalam dekapannya. “Saya tahu. Anak perempuan itu, penting banget sama sosok Ayah. Bahkan Raras juga gitu. Tapi bedanya, Raras gak mau tinggal sama Papanya di luar negeri, karena Papa orang sibuk.” Meli memandang Andi dalam.
“Tuh kan. Apa kata saya? Semua anak perempuan, pengen di perhatiin. Apalagi di perhatiin sama Ayah.”
*****
Wangi masakan menyapa hidung mancung Meli. Seketika ia bertanya-tanya siapa yang memasak pagi hari ini. Andi tak mungkin memasak. Lalu siapa? Gadis itu berjalan keluar. Menuju dapur, yang kini sudah di isi oleh makanan enak di atas meja. Meli hanya mengangguk pelan, saat mengetahui orang tersebut. Pembantu baru di rumah Andi.
“Oalah, Non Meli udah bangun toh. Mari Non, serapan dulu.” Meli mengangguk. “Bibi tahu dari mana, nama ku?” Bi Sindi terkekeh kecil. “Dari Den Andi, Non. Den Andi juga bilang, kamu teh gak suka sayur. Kenapa atuh? Sayur tuh kan wenak pol lah, Non.” Meli terkekeh kecil mendengar logat bahasa Bi Sindi. Ia hanya tersenyum, setidaknya ada anggota baru di rumah ini.
“Sebenarnya, aku suka sayur. Tapi dulu, hahaha.”
“Kenapa sekarang enggak lagi, Non?”
“Trauma tahu, Bi. Bayangin nih. Aku sama Mama makan di warung di pinggir jalan nih, tapi sayurannya ada ulatnya.” Membayangkannya saja, Meli sudah jijik.
“Makanya, aku gak mau makan sayuran jenis apapun lagi.” Sesaat setelah mengucapkan isi hatinya, Andi malah menertawainya. Meli segera berbalik. Memandang Andi dengan balutan kemeja birunya. “Ketawa Bapak, kayak gorila.”
Bi Sindi heran sendiri. “Kok Non Meli manggil si Den Andi, Bapak?” Meli terkekeh kecil mendengar penuturan Bi Sindi. “Bukannya, Non Meli adiknya Den Andi, toh?”
Meli segera menggelengkan kepalanya. “Ogah deh! Enggak lah.” Bi Sindi masih memandang keduanya bingung. Andi memilih duduk di sebelah Meli. “Meli adik temen saya, Bi. Di titipin sama saya, karena orang tuanya lagi pergi. Dia juga bukan tinggal di sini. Tuh, di samping rumah. Penakut sih, makanya mau tinggal di sini.”
Meli merasa tak terima saat dirinya di sebut penakut! Ia segera mencubit pinggang laki-laki itu. Membuat Andi menahan tangan Meli yang semakin kencang menarik kulit pinggangnya. Meli memandang Andi, kemudian cemberut tak jelas. Andi yang gemas segera mencubit pipi Meli. Membuat sang empu mengerang keras karena kesakitan.
“Sakit bego!” teriaknya.
*****
Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story about Melina [END]
أدب المراهقينStart : 24 Oktober 2021 End : 11 Maret 2022 [BUKAN UNTUK DI COPAS] [Judul awal : Dear math teacher] Andi tak menggubris apa-apa. "Masih ada yang mau bertanya?" tanyanya. Semuanya hanya diam. Pandangan Andi beralih pada Meli. "Kamu?" tanyanya. Me...