“Ta-tapi kok—”
“Pesawat yang di naiki Bunda sama Ayah, gagal mendarat di bandara. Pesawatnya hancur dan—gak ada yang selamat. Jenazah Ayah sama Bunda, udah ada di rumah sakit.” Meli menutup mulutnya. Masih belum menyangka bahwa hal ini terjadi.
“BU—BUNDA BOHONG!”
Meli melemparkan ponselnya ke dinding hingga layarnya pecah dan mati. Lutut Meli runtuh di atas keramik. Ia bersandar di tepi kasur. Bahunya naik turun akibat menangis. Di lain sisi, Ferdy seketika panik akibat teriakan Meli.
“Halo, Meli? Melii?” Sudah tak ada sahutan. Buru-buru ia mengambil jaket. Mengambil kunci, hingga membuat istrinya mengernyit. “Kamu mau ke mana? Ke Jakartanya besok kan?”
“Kita berangkat sekarang. Meli butuh aku!” kata Ferdy tegas. Meskipun wajahnya tak bisa berbohong. Laki-laki itu berusaha menahan tangisnya.
*****
Meli memandang jenazah kedua orang tuanya dengan tatapan nanar. “Ayah .... Bunda ....” Meli memegang peti kedua orang tuanya. Semalam, Ferdy sudah datang tadi malam. Dan pagi ini, ia dan Abangnya duduk di dalam ambulans. Meli tak menangis. Pandangannya datar, namun matanya memerah.
Ferdy meraih pundak Meli, “Hei. Bunda sama Ayah udah bahagia di Rumah Tuhan. Kita harus ikhlas.” Meli menoleh ke arah Ferdy. Abangnya itu, menatapnya dalam, sembari tersenyum, sementara mata laki-laki itu mengeluarkan buliran bening air.
“Bunda sama Ayah, udah benar-benar bahagia,” kata Ferdy lagi, sembari mengelus pundak Meli.
“Mereka bahagia, kata Bang Ferdy? Bahagia karena udah bohong dan ninggalin anaknya yang masih butuh kehadiran orang tua? Itu bukan kebahagiaan namanya!” seru Meli kemudian terisak.
Kali ini, Ferdy ikut-ikutan menangis. “Maafin Ferdy, karena—belum bisa kasih cucu buat kalian. Tapi, kalian kan tau. Istri Ferdy mengandung sekarang. Kenapa kalian ninggalin dia sebelum anakku, merasakan punya Kakek dan Nenek?” Ferdy mengatakannya dengan suara yang bergetar.
Meli menundukkan kepalanya, hingga pada akhirnya ia bergerak memeluk erat, Abangnya itu.
Satu jam lebih di perjalanan, mobil ambulans berhenti di rumah. Sudah ada istrinya Ferdy di sana, juga dengan Bi Sindi, dan keluarga lainnya. Perlahan, Meli dan Ferdy turun, dan peti jenazah di turunkan oleh petugas.
Meli berjalan lemas ke dalam rumah, di sambut hangat oleh beberapa orang yang sudah ada di sana. Raras berlari memeluk Meli, membuat tubuh Meli membeku. “Aku tau, kamu kuat,” kata Raras, membuat Meli berusaha menahan air matanya untuk tidak mengalir.
Pelukan singkat tersebut terlepas, Meli terdiam ketika ia mendapati Riano, Rafli, Kesya dan kedua temannya, dan—Leha yang kini memandangnya.
Meli membuang pandangannya. Perempuan itu, pergi ke dalam kamarnya, menumpahkan seluruh air mata yang ia tahan sedari tadi. Lutut perempuan itu, runtuh.
Pipinya berubah merah. Dia melempar barang-barang yang ada di kamarnya frustrasi. Napasnya juga memburu. Meli mencari-cari ponselnya yang kini sudah pecah, akibat terjatuh semalam.
Dengan tangan yang gemetar, Meli menekan tombol panggilan pada Andi. Tiga kali panggilan, sama sekali tidak tersambung.
Meli mencoba untuk menghubunginya sampai belasan kali. Masih belum ada perubahan. Dengan napas naik turun, Meli kembali menekan ikon panggilan, sampai puluhan kali. Tidak ada jawaban.
“Pliss, angkat teleponnya!” Meli terisak. Untuk yang terakhir kalinya, ia menekan tanda panggilan. Tidak ada perubahan. Kali ini, Meli melemparkan ponselnya kembali. Gadis itu kembali menangis kencang.
Suasana kamarnya yang gelap dan berantakan, semakin mendukung keadaan untuk menangis sepenuh tenaga.
*****
Acara tiap acara sudah berlangsung. Sore ini, kedua orang tua Meli, di kebumikan di makam umum, Jakarta. Setelah doa di panjatkan, Meli menaburkan bunga pada kedua gundukan tanah yang basah.
Sama seperti Meli, Ferdy menaburkan bunga, sembari menuangkan satu botol air. Satu persatu, orang-orang meninggalkan pemakaman. Hanya tersisa Meli, Ferdy dan istrinya, Rafli, Faiz, Riano, Raras dan—Leha.
“Mel ....” panggilan dari Leha. Meli tak menoleh sedikitpun. Ia masih fokus menaburkan bunga ke makam Bundanya.
“Meli, di panggil sama Leha kok gak nyahut.” Ferdy mengelus bahu Meli pelan. Meli menghentikan aktivitasnya. Ia menghela napasnya kemudian menoleh ke arah Leha. Alis matanya naik sebelah.
“Kenapa?” tanyanya cuek.
“Mel, gue—”
“Lo seneng kan, Zul? Lo seneng lihat gue kayak sekarang. Iya kan?”
“Mel, gak gitu. Gue—maafin gue, Mel. Gue nyesel, udah nyakitin lo.”
“Gue juga minta maaf, Mel.” Suara seseorang yang datang dari belakang. Riano berjalan pelan ke arah Meli. “Harusnya gue gak suka sama lo. Mungkin lo sama Leha gak bakalan berantem.” Meli perlahan tersenyum simpul.
“Big thanks.” Sebuah usapan kembali mendarat di bahunya. “Abang balik dulu ke rumah. Kamu, gak pulang?”
Meli menggelengkan kepalanya cepat. “Meli mau temenin Bunda sama Ayah sebentar lagi.”
Ria—istrinya Ferdy, tersenyum simpul. “Kamu hati-hati,” katanya kemudian melangkah pergi bersama Ferdy. Rafli menghela napasnya dalam-dalam. Ia melangkah pelan, kemudian jongkok di sebelah Meli. Meli menatap laki-laki itu kemudian tersenyum.
“Kak Rafli tahu dari mana?”
“Kesya.”
Meli menoleh ke arah Kesya. Perempuan itu tersenyum simpul. “Semangat, Mel. Gue ada, kalau lo butuh. Kita udahan aja ya, berantemnya. Gue cape juga soalnya.”
Meli terkekeh kecil. “Gue, balik duluan Mel. Hm, sekali lagi turut berdukacita Mel,” kata Kesya lagi.
Meli mengangguk. “Makasih.” Setelah itu, Kesya melangkah pergi. Riano menepuk pundak Meli tiga kali.
“Gue balik dulu. Semanggatttttttttt! Lo tahu, kehilangan setengah jiwa itu, ibaratnya kita kehilangan tujuan hidup. Sama kayak yang gue rasain dulu. Tapi gue yakin satu hal. Lo orang yang kuat, Mel. Lo mampu hadapin ini semuanya,” katanya. Meli tersenyum simpul kemudian mengangguk sekali.
*****
Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story about Melina [END]
Fiksi RemajaStart : 24 Oktober 2021 End : 11 Maret 2022 [BUKAN UNTUK DI COPAS] [Judul awal : Dear math teacher] Andi tak menggubris apa-apa. "Masih ada yang mau bertanya?" tanyanya. Semuanya hanya diam. Pandangan Andi beralih pada Meli. "Kamu?" tanyanya. Me...