33. Raras hilang

655 80 2
                                    

     “EGA!”

     “EGA!”

     “EGA!”

      Dukungan dari teman-temannya di pinggir lapangan basket. Entahlah, di mata siswa-siswi di sekolah, Ega selalu di banggakan. Padahal banyak sisi buruk yang tak di ketahui oleh banyak orang. Termasuk Raras sendiri, yang mau berpacaran dengan laki-laki sepertinya.

     Laki-laki yang di sebut Ega itu tersenyum simpul kemudian melambaikan tangannya. Ia berlari pelan, ke pinggir lapangan untuk istirahat sebentar sebelum pertandingan di mulai. “Mau minum, Kak?” Pertanyaan itu membuat Ega menoleh. Raras menatapnya, sembari menyodorkan satu botol air mineral.

      Ega menatap tangan Raras, ia ingin menerima botol tersebut, namun seseorang malah mengambilnya. “Makasih, Cil. Gua haus banget!” kata Ridal, teman satu tim Ega. Raras tersenyum. “Sama-sama!” ucapnya.

      Ega berdecak kesal. “Itu buat gue woi. Kenapa jadi di lo?!” sentaknya marah, membuat Ridal tertawa kecil. Ega tersenyum kemudian mengelus pipi Raras. “Ras, makasih ya. Udah perhatian,” katanya.

      Raras mengangguk pelan. “Ras, nanti malam jadi kan?” tanya Ega. Cukup lama Raras menjawab, hingga pada akhirnya ia mengangguk. Raras pikir, ia akan pergi malam ini. Toh, Andi sudah pergi.

       “Aku tunggu kamu nanti,” kata Ega, kemudian mencubit pipi Raras gemas.


*****


      “Ras. Lo kok bisa sih, pacaran sama Kak Ega? Lo beruntung banget tau! Gue jadi iri,” kata salah satu siswi. Raras terkekeh di buatnya.

      “Ras, Kak Ega ganteng banget yah. Kamu beruntung banget pacaran sama cowok kayak dia.”

      “Raras, bagi tips dong. Supaya dapat cowok kayak Kak Ega.” Raras hanya bisa tersenyum menanggapi semua tanggapan teman-temannya.

      Ponsel Meli berdering pelan. Syukur guru pengajar, sedang menerangkan di depan dengan infocus. Ada nama Kang Rudi di sana. Padahal setengah jam lagi, Meli akan segera pulang. Karena ini sudah memasuki jam terakhir.  

        Segera Meli mematikan ponselnya, kemudian memasukkannya ke dalam saku. “Ijin, Bu! Mau ke toilet!” kata Meli sembari tunjuk tangan. Bu Risya, selaku guru sejarah peminatan, mengangguk pelan. Setelah di beri ijin, buru-buru Meli ke toilet. Ponselnya lagi-lagi berdering. Membuat Meli berdecak malas. “Halo, Kang? Kenapa nelpon? Saya masih ada di kelas loh!”

     “Aduh, punten Non. Non Raras gak ada di sekolah!”

     “Loh? Ini kan udah jam pulang. Ke mana tuh bocil? Ish, gue kan udah bilang tadi. Jangan ngilang!” Meli menghela napasnya.

     “Ndak tahu Non ehehehe!”

     “Udah cariin dia ke dalam sekolah belum?” tanya Meli. Kang Rudi menggelengkan kepalanya.

     “Ndak tahu, Non. Ndak berani masuk juga.”

     “Yaudah, Kang. Kang Rudi ke sekolah saya aja. Tungguin saya, di tempat yang tadi. Tempat saya turun!”

     “Oh iya, Non. Siap!” Panggilan berakhir. Meli menghela napasnya, kemudian segera masuk ke kelas. Meskipun pikirannya ada pada Raras sekarang. Bukan apa-apa. Hanya saja, Andi menitip Raras padanya, jelas saja ia harus menjaga Raras seperti adiknya sendiri bukan?

      Sepulang sekolah, Leha menaiki sebuah Ojek untuk pergi menemui ke rumah Riano. Orang tuanya sedang sibuk hari ini, makanya ia pulang sendirian. Di lain sisi, Meli menemui Kang Rudi di parkiran. Setelah itu, buru-buru Meli masuk ke dalam mobil.

     “Kita ke sekolah Raras sekarang, Kang!”

     “Siap, Non!” Beberapa menit di jalan, Meli segera turun, karena sudah sampai di sekolah Raras. Gadis itu melangkah masuk. Pak Satpam yang tengah berjaga, tengah tertidur sembari menutup wajahnya dengan kertas koran. Tidak ada tanda-tanda kalau Raras di sini. Bahkan sekolah sudah sepi. Meli memilih untuk mengirimkan pesan pada Raras.

Lo di mana

Rumah

      Rahang Meli, jatuh seketika. Dia pikir, Raras hilang. Ternyata sudah di rumah! Pada akhirnya, Meli berbalik menuju mobil, menemui Kang Rudi yang kini sibuk berbicara dengan salah satu perempuan penjual cilok di dekat sekolah. Meli menghela napasnya kesal.

     “KANG!” panggilnya, membuat Kang Rudi buru-buru menoleh. “Hadir, Non.” Meli memasang wajah kesalnya. “Raras udah di rumah! Bukan hilang!” kata Meli kesal.

*****


      Leha menghela napasnya, ia memilih untuk mengetuk pintu rumah Riano. Ada tulisan kata ‘Welcome’ di sana. Tiga kali ketukan, Riano keluar dari dalam rumah. Terpampang jelas di hadapan Leha. Sosok Riano dengan mata yang sepertinya baru saja menangis.

     “Mau apa?” tanya Riano cepat. Ia memandang Leha. Gadis itu masih mengenakan seragam sekolah. Melihatnya membuat Riano yakin.  Pulang sekolah, Leha segera ke sini. Oh iya, di rumahnya juga hanya ada dia seorang. Semua kerabat keluarga ibunya sudah pulang, setelah pemakaman selesai semalam. Berbeda dengan keluarga Ayahnya, yang sama sekali tak datang.

     “Noo, maaf. Karena gue, gak bisa datang ke pemakaman nyokap lo.” Riano hanya diam. Memandang wajah Leha lekat-lekat. Laki-laki itu mendongak ke atas. Berusaha untuk tidak menangis. Apalagi di hadapan seorang perempuan.

      Leha menyentuh lengan Riano, takut-takut. “Noo?” tanyanya. “Pulang!” kata Riano cepat.

     “Noo, maafin gue. Tapi please, jangan minta gue pulang. Gue gak mau balik, gue mau temenin lo di sini.” Riano menggeleng cepat. “Gue gak butuh! Gue pengen sendiri sekarang, jadi lo pulang sekarang, sebelum gue, ngusir lo secara paksa dari sini.”

     “Gue yakin lo butuh teman sekarang, Noo. Jadi biarin gue di sini okay?”

     “Lo tahu apa sih, hah? Lo tahu apa tentang gue? Gak usah sok tahu! Gue cuman pengen sendiri! Gue gak butuh teman.”

     “Tapi, Noo--”

     “PULANG LEHA!” Air mata Leha seketika mengalir. Ia buru-buru menghapus air matanya secara paksa. Gadis itu memalingkan wajahnya, saat Riano menatapnya dengan tatapan rasa bersalah mungkin?

     “Oke, Noo. Gue bakalan pergi. Lo tenangi diri lo sekarang. Ngerti kan, Noo? Nanti, gue bakal datang, kalau lo udah tenang. Gue bakal datang sesuai mau lo!” Leha tersenyum simpul.

     Gadis itu menepuk pundak Riano pelan. “Noo, gue balik. Jangan lupa makan siang.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Leha melangkah pergi.

*****

Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.

Story about Melina [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang