22. Jiarah doang, lama

850 105 0
                                    

     “Lo yakin berhenti di sini aja?” Riano menatap Meli bingung. Meli mengangguk pelan. “Yaudah, hati-hati. Titip salam sama--”

      “Abang. Iya, abang,” potong Meli. Riano terkekeh kecil. “Iya. Titip salam. Bang Ferdy belum nikah?” Meli segera menggeleng. “Eh, u-udah nikah. Tinggal nunggu ponakan aja hehehe.”

     “Boleh dong kalau gue ketemu Bang Fer--” Meli lagi-lagi memotong ucapan Riano. “Itu sepupu. Abang sepupu. Bang Ferdy gak ada di sini.”

     “Tinggal berdua?”

     “Enggak. Masih ada satu sepupu lagi. Anak SMP.” Riano mengangguk mengerti. “Makasih udah nemenin gue,” ucapnya kemudian.

     “H-hah? Iya. Rion juga temen gue. Wajar kalau gue ziarah ke sana,” kata Meli yang kini gugup. Riano mengacak-acak rambut Meli gemas. Membuat jantung gadis itu berdetak kencang. “Gue balik dulu,” sambungnya.

     “Iya. Hati-hati,” ucap Meli. Motor Riano berlalu pergi dari kompleks perumahan Meli. Rintik hujan mulai turun, membuat Meli buru-buru berlari menuju rumah Andi. Saat sampai di rumah Andi, Meli mengernyit saat ada seorang wanita paruh baya yang menyapanya.

    “Mari Non,” sahut  wanita yang baru keluar dari rumah. Meli mengangguk, meskipun ia tak mengenal orang tersebut.

      Melepaskan sepatu, gadis itu, berjalan menuju ruang tamu. Ada Raras di sana. “Siapa yang jemput lo tadi?”

     Raras menoleh. “Naik taksi, tadi.” Meli berdecih. “Mentang-mentang orang kaya.”

       “Bang Andi yang nyuruh.”

       “Ke mana dia?” Meli duduk di sebelah Raras yang tengah sibuk menggambar.

      “Di kamarnya lah.”

      “Yang tadi siapa? Perempuan tadi maksud gue.”

      “Pembantu, kata Bang Andi. Bi Sindi namanya. Tadi juga, Bang Andi di pijatin. Besok mulai kerja.”

      “Dia pulang hujan-hujanan gitu?”

      “Udah di pesanin taksi tadinya.” Meli mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, kemudian melangkah pergi dari sana. Andi yang tengah duduk bersila di karpet, menoleh saat mendengar suara ketukan pintu.

      “Masuk,” ucapnya. Meli segera masuk, membuat Andi menaikkan sebelah alisnya. “Dari mana kamu?”

    “H-hah? Apanya?” Meli menatap Andi bingung. “Kamu dari mana? Ini udah sore. Sekolah pulang jam dua siang,” kata Andi memperjelas. 

     “Oh itu. Tadi temenin Riano.”

     “Yang jemput kamu tadi?”

      Meli mengernyit. “Bapak lihat?” Andi gelagapan sendiri. “Gak sengaja lihat,” ucapnya.

     “Oh iya.” Meli segera duduk di sisi ranjang, saat Andi bangkit. “Temenin ngapain?” Sekarang, Andi duduk di sebelah Meli. “Ke kuburan. Ziarah ke makam kembarannya.”

     “Lama banget cuman ziarah doang.”

      “Eh, sebentar kok.” Andi menatap Meli kemudian menghela napasnya. “Kamu mandi sana. Kalau habis dari kuburan itu, wajib mandi. Nanti ada arwah penasaran yang ngikutin kamu terus.”

       Meli terkekeh kecil. “Bisa gitu yah?”

      “Bisa lah. Baru tahu?”

      “Iya, hahaha.”

      “Yaudah sana mandi. Setelah itu makan. Belum makan kan?”

      “Belum, Pak ehehehe.”

      “Itu temen kamu gak ngajakin kamu makan?” Meli menggelengkan kepalanya pelan. “Si Riano mah gak bisa jadi orang romantis. Saya udah tahu dari dulu. Yaudah lah. Mau gimana lagi? Dia itu gak peka jadi cowok.”

     “Bukan kayak saya kan?” Pertanyaan Andi membuat Meli bingung sendiri. “Emang situ udah peka yah jadi cowok?”

     Andi berdecak sebal. “Lebih baik kamu keluar. Mandi yang bersih. Karena saya gak mau dekat-dekat sama orang yang--”

     “BACOT BANGET YAH PAK.” Meli segera bangkit, keluar dari kamar Andi. Andi terkekeh kecil di buatnya. Setelah Meli keluar, Andi melepaskan bajunya. Ia juga ingin mandi. Tadi saat di pijat, badannya sangat berminyak. Belum juga melangkah ke kamar mandi, Meli tiba-tiba masuk. Andi menghela napasnya meredam emosi. “Kenapa lagi, hah?”

       Meli cengengesan sendiri. “Pak, kamar mandi di dekat dapur, lagi di pakai sama Raras. Perutnya sakit katanya. Jadi, saya numpang mandi di kamar Bapak yah?”

      “Hah?” Andi mengernyit heran.

      “Di kamar Bapak kan ada kamar mandi. Saya numpang mandi yah.”

      “Di kamar Raras kan bisa.”

      “Airnya mati, ehehehe.”

      “Di kamar kamu--”

      “Di kamar saya kan gak ada kamar mandi.”

      “Yaudah buruan!” Andi mengalah. Segera ia keluar dari kamar. Meli terkekeh kecil, membawa paper bag berisi sepasang bajunya, ke dalam kamar mandi. Melepaskan baju, menyalakan shower, gadis itu memulai ritual mandinya.

      Di bawah cermin yang cukup tinggi, ada beberapa botol alat pembersih wajah, pencukur bulu, hand body, shampo, sabun dan beberapa skincare. Meli baru tahu kalau laki-laki seperti Andi memakai bahan-bahan seperti itu. Pantas saja wajah laki-laki itu glowing, pikir Meli saat itu juga.

*****

Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.

Story about Melina [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang