48. Kita, putus!

879 92 2
                                    

     “Halo? Ini siapa ya?” tanya Meli, begitu menekan ikon hijau ke atas.

     “Ini saya. Kamu apa kabar? Saya kangen.”

       Mendengar suara Andi, membuat Meli membeku. Mulutnya tak bisa berkata-kata lagi.

       “Meli? Halo?”

       “Kenapa nelepon saya lagi, hah? Selama sembilan hari, ke mana aja, Hah?”

       “Oh, maaf. Akhir-akhir ini, saya sibuk. Dan, kemarin, handphone saya jatuh ke dalam air. Jadi, handphonenya rusak, dan butuh waktu banyak untuk memperbaikinya. Kamu kenapa sih? Di telepon pacar, bukannya seneng, malah bentak-bentak saya.”

        Air mata Meli seketika menitik. “Pacar?” Meli bertanya, kemudian tertawa jengkel. “Saya gak punya pacar lagi.”

        “Ma-maksud kamu? Hei, kamu ngomong apa sih?” Andi terkekeh di akhir kalimatnya.

       “PULUHAN, KALI SAYA BERUSAHA BUAT NELEPON. BAPAK GAK PERNAH, KASIH KABAR. SEKARANG, BAPAK TELPON SAYA, DAN BILANG KANGEN? SITU WARAS?”

        “Meli? Kamu—”

        “AYAH SAMA BUNDA, MENINGGAL. BAPAK DI MANA? BAPAK GAK ADA DI SISI SAYA, KAN?”

         “Me-meninggal?”

         “Bapak gak tau kan? Karena Bapak gak pernah peduli sama saya!”

         “Mel. Kamu kan udah denger. Handphone saya rusak. Saya—”

         “Bapak gak punya kenalan gitu, cuman kasih saya kabar? Jaman udah maju. Banyak hal yang boleh Bapak lakuin untuk, kabari saya. Semua yang Bapak bilang, cuman alasan yang gak berbobot.”

         “Hei. Kamu dengerin saya dulu, sebentar. Saya—”

         “Gak ada yang perlu saya dengerin lagi. Mulai detik ini, kita gak punya hubungan apa-apa lagi. Jangan pernah hubungin saya lagi. Karena saya udah muak sama hubungan kayak gini, Pak.”

        “Mel—Meli—”

        “Kita, putus.”

         Meli mematikan sambungan teleponnya. Napasnya naik turun. Gadis itu memandang layar ponselnya dengan tatapan nanar. Di seberang sana, Andi menjatuhkan ponselnya begitu saja. Jantungnya berdegup amat kencang.

        “Pu-putus?” tanyanya masih tak percaya. Karen melangkah pelan, sembari membawa satu rantang kue. “Kang—”

        “Saya harus pulang.” Andi segera berjalan ke arah kamarnya. Dia mengacak-acak semua barang-barang di lemarinya, memasukkannya secara acak ke dalam koper.

        “Akang mau pulang? Mendadak? Bahkan, tugas Akang di sini belum juga selesai, kan?”

         Andi tak menanggapi ucapan Karen. “Kang. Akang dengerin saya kan?” tanya Karen ulang. Andi menghela napasnya, kemudian memandang Karen. “Saya harus pulang.”

        “Iya. Tapi kenapa mendadak kayak gini?” tanya Karen heran. Andi menarik napasnya dalam-dalam. “Kalau saya gak pulang, hubungan saya dan pacar saya, benar-benar berakhir.”

        “Maksudnya, Kang?”

       “Ren. Pacar saya minta putus. Saya gak mau. Ini benar-benar gak adil buat saya!”

        “Kenapa dia minta putus?”

        “Mungkin, ini salah saya juga. Karena—saya gak ada di samping dia, saat kedua orang tuanya meninggal.”

        “Akang nyesel, ke sini. Gitu?” tanya Karen lagi. Andi menggeleng. “Enggak. Sama sekali nggak. Saya bisa ke tempat terindah di dunia seperti kata kamu, dan—saya bersyukur bisa ketemu kamu di sini.”

       Air mata Karen seketika menitik. “Kapan Kang Andi pergi?”

      “Secepatnya.” Andi kembali memasukkan barang-barangnya ke dalam koper.

       “Apa Kang Andi, masih pulang ke sini?”

       Andi menghentikan aktivitasnya, kemudian melirik Karen. “Saya gak tau. Karena Sumba, bukanlah rumah saya.”

*****

       “Sya. Abang lo di mana?” tanya Meli begitu kembali ke kantin. Kesya menaikkan sebelah alisnya. “Kayaknya di rumah deh. Eh, lo ngapain nanyain Bang Rafli? Apa lo beneran naksir yah, ke dia?” goda Kesya.

       Meli mengedikkan bahunya. “Gue, cabut duluan ya? Gue mau ketemu dia dulu.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Meli melangkah pergi.

       Kesya geleng-geleng kepala di buatnya. “Hati-hati!” teriaknya.

      Tujuan Meli ingin menemui Rafli, hanya satu. Meli ingin mengucapkan isi hatinya pada laki-laki itu. Mungkin terkesan berlebihan, namun Meli tak ingin buang-buang waktu lagi. Meli mengenal Rafli hampir empat Minggu, namun seperti sudah mengenalnya sejak lama.

     Meli menghentikan motornya tepat di hadapan rumah Kesya. Pak Satpam yang berjaga di sana, hanya tersenyum. Karena selama ini, Meli sering bolak balik ke sini, ia sudah mengenal Meli. Bahkan sampai-sampai, ia berpikir kalau Meli dan Rafli berpacaran.

     Meli melangkah masuk. Tidak ada orang di rumah. Oh iya, Rafli dan Kesya tinggal berdua di rumah ini. Setau Meli, Ayah Rafli dan Kesya bekerja di sebuah kilang minyak di Indonesia. Jarang pulang ke rumah, sementara ibu mereka, sudah lama meninggal.

     Meli melangkah pelan ke arah kolam renang. Tempat ia dan Rafli sering bertukar pikiran. Namun, langkah Meli terhenti saat mendengar percakapan Rafli dengan seseorang lewat telepon.

      “Iya, Pak. Siap. Saya akan berangkat ke Jerman, lusa. Terima kasih atas tawaran beasiswa dari Bapak.” Sambungan telepon berakhir. Rafli menghela napasnya, kemudian berbalik. Dia kaget, ketika melihat Meli yang kini menatapnya dalam-dalam.

      “Eh, hai Mel. Udah lama? Kamu duduk dulu. Kamu mau cerita apa hari ini?” sambut Rafli ramah.

      Meli menggeleng pelan. “Kak Rafli, bakalan pergi?” tanya Meli. Rafli mengerutkan keningnya.

      “Kamu nguping?” tanyanya, sembari terkekeh pelan, di akhir kalimatnya.

*****

Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.

Story about Melina [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang