“Saya udah pesan taksi. Kalian berdua berangkat barengan.” Ucapan Andi setelah makan pagi selesai, membuat Meli mengernyit. “Bapak gak kerja?” Andi menggelengkan kepalanya pelan. “Enak banget, libur. Ganti posisi dong.”
“Gausah aneh-aneh.” Peringatan dari Andi. Ponsel Meli bergetar pelan. Ada pesan masuk. Rumah lo di mana? Gue mau jemput. Kita berangkat barengan. Meli membulatkan matanya sempurna.
“Gawat,” katanya. Ucapannya barusan, membuat Andi mengernyit. “Siapa?” tanyanya penasaran. Meli merubah ekspresinya. “Te-temen. Katanya mau jemput.”
“Siapa temen kamu?” tanya Andi penasaran. Meli berdecak.
“Bapak kan gak harus tahu.”
“Harus.”
“Kenapa?”
“Karena—” Ponsel Meli bergetar kembali. Kali ini, Riano meneleponnya. Mungkin karena Meli lama membalas pesannya. Buru-buru Meli menarik tasnya. Berjalan keluar, yang membuat Andi memasang raut wajah kesal, laki-laki itu mengikuti Meli dari belakang. “Halo, Noo?”
“Rumah lo di mana?” tanya Riano dari seberang sana.
“Hm, lo di mana?”
“Persimpangan. Seingat gue, rumah lo di sekitar sini. Tapi, gue gak tahu rumah yang mana.”
“Ah iya. Sebentar gue shareloc.”
“Hm.”
“Udah kan?” tanya Meli setelah mengirimkan lokasinya. Riano mengangguk. “Oh iya. Deket kok. Tungguin sebentar.”
“Oke.”
Andi memasukkan kedua tangannya ke dalam saku. Penasaran siapa yang akan datang. Saat sebuah motor ninja datang, Andi segera sembunyi di balik jendela. Bahaya juga kan, kalau Meli tahu dia tengah mengintip.
Riano memberikan Meli helm. Meli segera menggelengkan kepalanya pelan. “Gausah mungkin? Gue juga punya helm pribadi. Sebentar gue ambilin.” Alis mata Riano naik sebelah. “Ini gue beli khusus buat lo,” katanya sembari menyodorkan helmnya.
Meli terkekeh kecil. “Big thanks, Bro!” ucap Meli, sembari memakai helmnya. Naik ke atas motor, di bantu oleh Riano tentunya.
“Eh, gue belum ijin sama nyokap lo,” kata Riano, yang membuat Meli menggelengkan kepalanya cepat. “Bunda gak di rumah.”
“Jadi, lo tinggal bareng siapa?” tanya Riano sembari menyalakan motornya. “Kerabat keluarga,” jawab Meli. Keduanya pergi meninggalkan pekarangan rumah Andi. Andi menatap keduanya kesal. Raras yang mengetahui ekspresi wajah abangnya itu terkekeh kecil. “Cie cemburu.” Andi menoleh cepat.
“Nggak. Sok tau kamu,” katanya sebal.
*****
“Thanks, Noo.” Meli turun dari atas motor, kemudian memberikan helm yang ia pakai pada Riano. “Hm.” Riano hanya berdeham pelan. Meli segera pergi dari sana, namun panggilan dari Riano membuatnya menghentikan langkahnya kemudian menoleh.“Nanti pulang bareng. Boleh?” Meli terlihat mengernyit heran.
“Seriusan lo?” Riano mengangguk pelan. Meli terkekeh kecil. “Gak. Gue pulang bareng Pak--” Meli menghentikan ucapannya. Ia teringat kalau Pak Andi tengah sakit. “Bareng siapa?” Riano masih menunggu jawaban Meli. “Bareng tukang angkot. Hehehe iya, naik angkot.” Sial! Kenapa Meli harus gugup?!
“Sama gue aja, kali ini.”
“Eh gue--”
“Sekalian gue mau ngajak jalan.” Ucapan Riano barusan, membuat Meli otomatis membulatkan matanya sempurna.
“Seriusan lo? Cowok kayak lo bisa romantis juga?” Riano menghela napasnya dalam-dalam. “Dari dulu sampai sekarang, lo itu gak pensiun jadi orang nyebelin,” ucapnya.
Meli memasang wajah datarnya. “Sialan lo!” Leha yang juga baru datang, segera menepi di balik pohon kaktus untuk mendengarkan percakapan keduanya.
“Jadi gimana? Mau gak nanti pulang bareng?” tanya Riano. Membuat ekspresi wajah Leha berubah murung. “Ntar dulu. Lo bilang, mau ngajak gue jalan. Ke mana dulu nih?” Meli menaikkan sebelah alisnya.
“Riano ngajak Meli jalan?” tanya Leha. Segera ia melangkah pergi dari sana. Berlama-lama di sana, akan membuatnya emosi. “Gue cuman ngajak lo ke makam Rion,” kata Riano. “Itu bukan jalan-jalan namanya!” Meli menghela napasnya sebal.
“Emang siapa yang ngajak jalan-jalan? Kayak ucapan lo tadi. Gue bukan tipe cowok romantis. Alay!” Riano melangkah meninggalkan Meli. “Gila banget tuh orang.” Meli hanya bisa geleng-geleng kepala dibuatnya.
*****
“Ada tugas gak hari ini?” Meli duduk di sebelah Leha. Leha mengedikkan bahunya tak peduli.
“Gatau.”
“Tumben, muka lo murung gitu.” Meli terkekeh kecil, sembari menyenggol lengan Leha pelan.
“Apaan sih? Gak lucu.” Ucapan Leha barusan membuat Meli terdiam seketika. “Lo? Lo kenapa dah?” tanya Meli heran. Ini bukan Leha yang ia kenal. “Gak. Gapapa. Kepala gue pusing aja sedikit.” Leha tersenyum simpul.
“Yakin?” Meli menatap Leha tak yakin. Leha mengangguk cepat. “Yakin lah.”
Meli masih menatap Leha sangsi. “Gue tahu lo bohong. Gue sama Riano gak ada hubungan apa-apa, Zul. Lo tenang aja deh.”
“Hm, maksudnya?”
Sebenarnya, Meli tahu kalau Leha pura-pura tidak mengerti sekarang. Berteman sejak SMP dengan gadis itu membuat Meli mudah menebak kepribadiannya. Meli terkekeh kecil kemudian menepuk pundak Leha tiga kali. “Gue lihat lo, sembunyi di belakang pohon kaktus tadi. Beneran kan? Dasar payah. Bukannya ngajak gue masuk ke kelas bareng.”
“Seriusan lo lihat gue?” Leha mengerjap bingung. Meli mengangguk. “Zuleha sayang. Kalau cemburu, bilang. Bilang cemburu susah amat dah.”
“Enggak. Gue gak cemburu kali.”
“Iyain aja deh biar seneng. Heh, gue tuh udah lama kenal sama lo. Jadi, lo gak bisa bohongi gue.”
“Ck, terserah deh. Ngomong-ngomong, tumben lo nanyain tugas? Biasanya, lo bakal maksa orang lain ngerjain tugas lo, kalau gak siap.” Leha melirik Marta dengan kacamata kotaknya yang kini menunduk takut karena ada Meli. Meli berdecak kemudian melirik Marta. “Kayaknya, gue bakal tobat deh. Yah, meskipun dia suka bikin kesel.”
*****
Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story about Melina [END]
Novela JuvenilStart : 24 Oktober 2021 End : 11 Maret 2022 [BUKAN UNTUK DI COPAS] [Judul awal : Dear math teacher] Andi tak menggubris apa-apa. "Masih ada yang mau bertanya?" tanyanya. Semuanya hanya diam. Pandangan Andi beralih pada Meli. "Kamu?" tanyanya. Me...