Pegawai perempuan tersebut geleng-geleng kepala dibuatnya. “Padahal, si Mas nya ganteng gitu. Tapi kok pelit sama pacar sendiri,” katanya.
Meli tersenyum penuh kemenangan. “Cari cowok yang lain aja, Mbak. Jangan sama cowok yang tampangnya ganteng doang tapi nggak bikin bahagia,” sambung Pegawai perempuan tersebut, kemudian melangkah pergi.
Andi menarik napasnya perlahan. “Huft. Iya oke. Kamu beli es krim yang kamu suka," katanya sebal. Meli terkekeh kecil. “Gitu dong! Makasih loh Pak. Hahaha.”
Andi memberikan kartu ATM-nya. Membuat Meli membulatkan matanya sempurna. “Ini beneran?” tanya Meli norak. Andi menghela napas berat. “Kamu mau atau enggak?” tanyanya.
“Yah mau dong!” Meli meraihnya cepat. “Rejeki nih boss!” ucapnya semangat.
“Saya tunggu di luar," kata Andi kemudian melangkah pergi. “Eh, Pak.” Panggilan Meli, membuat Andi menoleh. “Apa lagi?” Andi menghela pelan.
“Saya boleh kan, beli yang lain kecuali es krim?”
“Kamu mau beli apa lagi sih?”
“Rokok saya habis.”
“Hah? Ka—kamu, gak boleh. Saya lihat struk pembeliannya nanti. Kalau kamu beli rokok, lihat aja hukumannya.”
“Ish. Masa gak boleh? Kita bagi dua deh.” Meli berusaha bernegosiasi.
“Kamu pikir saya perokok kayak kamu?” tanya Andi benar-benar kesal. "Jangan pancing saya emosi!"
“Kalau gak boleh beli rokok, beli jajan aja kalau gitu.”
*****
Meli tersenyum. Gadis itu menenteng tiga kemasan besar, berisi jajanan yang ia suka. Bahkan jumlah belanjaannya ratusan ribu. Andi yang melihatnya terkejut setengah mampus. “Kamu mau buat saya bangkrut?”Meli menggelengkan kepalanya. “Kan Bapak orang kaya. Bapak aja yang salah jalur. Malah jadi guru matematika. Aneh.”
Andi menghela napas dalam. “Mana kartunya?” tanyanya. Meli tersenyum simpul, kemudian memberikan kartu berwarna biru tersebut. “Kapan-kapan bawa saya ke Mall dong. Di minimarket cuman ada jajanan doang. Kalau di Mall ada semuanya—”
“Kamu nggak perlu banyak ngomong! Sana masuk mobil,” kata Andi. Meli mengernyit heran. “Loh? Bapak mau ke mana emang? Kenapa nyuruh saya masuk duluan?” tanyanya. Andi melirik jam tangannya sekilas. “Sebentar, kamu tunggu di mobil aja. Saya mau beli kouta internet.” Setelah mengucapkan hal tersebut, Andi melangkah pergi.
Meli hanya tak acuh. Segera di bawanya belanjaannya ke dalam mobil. Matanya memicing bingung.
“Itu kan Tia,” pikirnya.
Setelah meletakkan belanjaannya, buru-buru Meli berlari untuk menghampiri perempuan itu.
“Tia? Lo ngapain?” Meli memandang Tia mulai dari ujung kaki hingga ujung kepala. “Meli?” tanya Tia memastikan. Meli mengangguk cepat.
“Tia. Gue beruntung banget ketemu lo di sini," kata Meli senang. Tia mengernyit. “Beruntung kenapa?” tanyanya bingung.
“Gue mau ngomong soal Faiz," sahut Meli, membuat Tia seketika terdiam. “Tia, gue mau bantuin lo sama anak di dalam kandungan lo, dapet keadilan. Lo mau yah, ikut gue?” sambung Meli.
Cukup lama Tia terdiam. Hingga pada akhirnya, perempuan itu menggeleng. Di elusnya perutnya yang kini cukup membesar. “Gue gak mau berurusan sama hukum," jawabnya.
“Tii ....”
“Meli! Lo, berhenti urus hidup gue. Gue tau kok, lo mantannya Faiz!” kata Tia dengan napas naik turun. Meli segera menggeleng. “Gue mau bantuin lo aja, Tia. Supaya lo dapet keadilan!” bujuknya.
“Gak ada gunanya, Mel. Itu semua malah tambah ribet nantinya. Gue gak mau, karena anak ini ....” Tia mengelus perutnya. “Gue gak mau kalau Faiz dapet masalah, dan keluar dari sekolah," sambungnya.
“Cinta, emang bikin orang tolol ya? Lo salah satunya!” Maki Meli kesal. “Tia. Ini demi masa depan lo!” sambung Meli meyakinkan. Tia tertawa sarkas. “Masa depan lo bilang? Gue nggak punya masa depan lagi, Mel. Gue putus sekolah, nggak perawan, dan sekarang hamil. Jadi nggak usah bahas tentang masa depan ke gue!"
“Tia. Plis ....” Meli kembali membujuk. Tia kembali menggelengkan kepalanya. “Gue bakalan rawat anak ini sendirian," balasnya.
“Tia! Lo mau kalau anak lo lahir tanpa Ayah? Suruh Faiz tanggung jawab, Tia! Itu udah jalan keluarnya," kata Meli tegas.
“Berapa kali gue bilang? Berhenti urusin hidup gue!” sentaknya. Napasnya naik turun. “Jangan bahas soal ini lagi. Gue udah nyaman sama kehidupan gue sekarang," sambungnya.
Meli mengangguk mengerti. “Oke! Sekarang emang lo nyaman. Besok-besok kalau anak lo lahir, dan nanyain Ayahnya, gimana?” tanya Meli. Dia menarik napasnya dalam. “Nggak hidup namanya kalau nggak ada sosok Ayah!” sambungnya.
Tia menatap Meli dalam. “Maafin gue Mel. Lo terlalu baik." Setelah mengatakan hal tersebut, Tia melangkah pergi begitu saja. Meninggalkan Meli dengan perasaan campur aduk.
“CHINTIA!” panggil Meli parau. Panggilan yang sama sekali tidak di gubris. Seseorang menyentuh lengan Meli. “Kamu dari mana aja, sih? Saya cariin kamu dari tadi! Kamu ngapain di sini?” tanya Andi sedikit cemas.
Meli seketika menoleh saat mendengar suara Andi. Gadis itu menyentuh dadanya. “Bapak bikin kaget aja!” celetuknya. "Kalau kamu hilang gimana? Saya mau ngomong apa sama Bunda?" tanya Andi kesal.
"Hilang? Nggak mungkin lah,” kata Meli sembari menggeleng-gelengkan kepalanya heran. “Emang apa yang nggak mungkin?” tanya Andi tak mau kalah.
Meli mengerutkan keningnya heran. “Yah banyak lahh. Salah satunya, saya nikah sama Bapak.”
*****
Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story about Melina [END]
Novela JuvenilStart : 24 Oktober 2021 End : 11 Maret 2022 [BUKAN UNTUK DI COPAS] [Judul awal : Dear math teacher] Andi tak menggubris apa-apa. "Masih ada yang mau bertanya?" tanyanya. Semuanya hanya diam. Pandangan Andi beralih pada Meli. "Kamu?" tanyanya. Me...