40. Pertengkaran Meli & Leha

753 96 7
                                    

      Sudah dua hari berlalu, sejak kejadian  Riano datang ke rumah Meli. Meli tak tahu apa yang akan terjadi kali ini. Intinya, dia hanya berharap semoga semuanya baik-baik saja.

      Dengan langkah pelan, Meli berjalan melewati koridor sekolah. Entah kenapa, pandangan orang-orang padanya terkesan ‘Aneh. Ini tak biasanya terjadi pada Meli.

      Oke, Meli bisa memaklumi untuk hari kemarin-kemarin, karena tampilan Meli yang sudah berubah. Namun sekarang, pandangan orang-orang yang seakan-akan melecehkannya, membuat Meli bingung setengah mampus.

        Meli ke sekolah dengan menggunakan wig. Tidak lupa dengan sebuah topi yang sering nongkrong di kepalanya.

        Perempuan itu, berusaha tidak menghiraukan pandangan orang-orang, berjalan terus sampai ruangannya. Sampai di sana, bukan hanya pandangan tak mengenakan yang ia dapat. Tapi bisik-bisik yang membuatnya mendelik kaget.

        Ardy menatap Meli, kemudian sebuah senyuman ia berikan. “Maaf yah, Mel. Kita semua gak sempet jenguk, karena sibuk persiapan ujian.” Meli hanya mengangguk. Setidaknya, hanya Ardy yang tak menatapnya aneh pagi ini. Meli berjalan ke arah bangkunya, dan—perempuan itu membulatkan matanya terkejut. 

        Ada beberapa tulisan mencela, di mejanya, dengan spidol warna hitam. Karena memang, meja di kelas ini berwarna putih. Kira-kira, begini tulisannya. Tukang porotin guru. Dih, pacaran sama guru lewat jalur pelet kayanya hahaha. Ke sekolah naik mobil, padahal tuh mobil hasil porotin guru. Aduh, ada yah cewek di sekolah ini yang sifatnya kayak lu. Jauh-jauh deh dari sini. Bict!

       Meli terkesiap. Ia segera memandang seluruh siswa-siswi di kelasnya yang kini hanya menatapnya, aneh. “Siapa yang nulis?!” bentak Meli. Tak ada yang mau mengaku, hingga pada akhirnya, Leha muncul dari pintu.

      “Gue! Kenapa? Gak suka?” tanya Leha tajam. Meli segera menghapus tulisan itu. Namun sial! Itu tinta permanen. Air mata Meli seketika menitik saat itu juga. “Lo gila?!” tanyanya.

     Leha mengangguk pelan. Gadis itu menguyah permen karet di mulutnya sambil tersenyum mengejek. “Aib lo ke bongkar yah? Duh kasihan.”

      Meli emosi. Ia segera berjalan menghampiri Leha, menariknya ke sudut sekolah. Dan semua itu tidak hilang dari pandangan Faiz. “Lo apaan sih!” Leha memberontak tak terima. Meli segera menarik kerah baju Leha.

      “Lo bener-bener gak punya otak!”

      “Emang!” seru Leha santai. Meli ingin sekali memukul wajah Leha yang menyebalkan itu. Namun, ia tak mungkin melakukan hal tersebut mungkin? Ia masih punya hati. Leha masih tetap jadi ‘Sahabat baginya. Mungkin?

       “Kalau aja gue gak anggap lo jadi sahabat gue, gue bakalan hajar lo sampai babak belur.” Meli melepaskan cekalan tangannya kemudian berbalik untuk kembali ke kelas. Namun, penuturan Leha membuatnya menghentikan langkahnya.

       Riano yang baru dari kelas Meli mengernyit kecil. Kata temen sekelas Meli, Meli berantem dengan Leha di sudut sekolah. Letaknya di belakang kelas Meli. Buru-buru Riano menuju tempat Meli dan Leha bertengkar dan Ia mendapati Faiz di sana. Ia melirik Faiz sekilas, kemudian hendak pergi ke arah Meli dan Leha. Namun Faiz buru-buru menahan tangannya.

        Riano memandang Faiz, kemudian segera menghempaskan tangan laki-laki itu. “Biarin mereka berdua selesaikan masalahnya dulu. Lo gak usah ikut campur,” kata Faiz.

       Mau tak mau, Riano hanya bisa diam. Berharap kalau Leha tidak menyakiti Meli. Meli mencekal kerah baju Leha dengan napas naik turun. Sementara Leha sendiri, perempuan itu menatap Meli dengan tampang muka yang membuat siapa saja jengkel.

       “Gue tahu itu. Lo gak bakal berani mukul gue, Mel.”

       “Zul! Lo itu sahabat gue!” Meli mengucapkannya dengan urat-urat lehernya yang berbentuk. “lo kenapa kayak gini, Zul?”

        “Sahabat kata lo?” Leha tertawa. “Heh. Ingat baik-baik. Gue, gak sudi di panggil sahabat sama lo.”

        “Bangsat!” Meli segera mendorong Leha. “Hanya karena Riano, lo bilang gitu? Lo emang gak waras lagi!”

        “Hanya lo bilang?” Leha tertawa kecil. “dari dulu lo tahu kan, gimana gue jelas-jelas bilang ke lo, kalau gue suka sama Riano.” Otomatis pandangan Faiz beralih pada laki-laki di sebelahnya. Riano lagi-lagi hanya bisa diam.

       “Lo gak tahu, gimana rasanya memendam perasaan. Karena lo gak pernah ngerasain, gimana perasaan gue! Kenapa sih, semua orang belain lo? Kenapa hah? Hidup itu bukan hanya tentang lo doang, Mel! Gue muak, gue gak suka!”

       Meli segera buang muka. “Lo gak bisa ngomong apa-apa lagi kan, Mel? Semua yang ada sama lo, buat gue benci sama lo. Gue gak suka lihat lo bahagia. Gue gak suka!”

       Untuk ke sekian kalinya, air mata Meli mengalir secara kurang ajar. Buru-buru ia menghapus air matanya. “Sorry. Kalau emang, itu yang lo mau, yah silakan. Gue juga mungkin maksa.”

       Setelah mengucapkan hal tersebut Meli segera melangkah pergi dari sana. Lutut Leha mendadak runtuh. Ia terisak kuat. Riano yang melihatnya, hanya diam. Hingga pada akhirnya, Meli berjalan melewatinya, begitu saja.

      “Mel, tunggu!” kata Riano kemudian berlalu pergi. Mengikuti jejak Meli. Faiz melangkah pelan ke arah Leha. Bahu Leha naik turun akibat menangis. Leha yang sadar, ada orang di belakangnya, segera menghapus air matanya. Ia bangkit kemudian berbalik.

       “Kenapa?” tanyanya cuek. Faiz memandang wajah Leha, kemudian ia menghela napasnya. “Meli itu temen lo. Gak seharusnya lo lakuin hal tadi sama dia.”

      “Dia bukan temen gue lagi!” seru Leha cepat. Faiz mengangguk-anggukkan kepalanya. “Kalau dia gak nyakitin gue lebih dulu, gue gak bakal kayak gini. Dia yang buat semuanya kayak gini!” sambung Leha.

       “Tapi cara lo salah,” celetuk Faiz.

*****

Jangan lupa menekan bintang. Semoga harimu menyenangkan

Story about Melina [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang