“Makasih sekali lagi, Noo.” Riano mengangguk. Leha dan Riano melangkah beriringan dari sana.
Raras menghela napasnya. Ia memandang Rafli dan Meli yang duduk bersebelahan. Harusnya bukan Rafli yang notabenenya orang baru di sebelah Meli. Tapi Andi, selaku pacarnya. Pada akhirnya, Raras pergi dari sana tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Sekarang, hanya ada Rafli dan Meli. “Kamu, gak balik?” tanya Rafli. Meli menggelengkan kepalanya pelan. “Mau di sini dulu sebentar.”
Gadis itu mengelus batu nisan Fatim dengan senyum yang terukir. Namun, dengan air mata yang mengalir. “Bun, ijinin Meli datang ke sini setiap hari yah? A—aku, pasti kangen sama masakan Bunda.” Meli beralih ke makam Ayahnya. Ia menyentuh batu nisan tersebut. Kemudian merapalkan doa dalam-dalam.
“Ayah, Meli .... Meli gak tahu mau ngomong apa lagi. Intinya, Ayah harus tahu satu hal. Meli, sayanggg banget sama Ayah. Anak kecil Papa udah jadi anak gadis sekarang. Ayah, Meli janji bakalan jadi anak kebanggaan Ayah.”
Gadis itu tersenyum simpul. Dengan helaan napas, Meli menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya.
“Hei, kenapa?” tanya Rafli sembari menarik telapak tangan Meli. Meli menatap Rafli dengan napas naik turun.
“Jakarta gak suka yah, sama saya?”
Rafli mengernyit. “Kenapa nanya gitu?”
“Buktinya Jakarta buat saya kehilangan orang yang saya sayang.”
“Bukannya semua orang juga pada akhirnya bakalan pergi?”
“Apa Kak Rafli juga akan ikutan pergi?” tanya Meli balik. Rafli menghela napasnya. “Saya gak bakalan pergi, meskipun saya gak tau, saya bisa menepati janji tersebut, atau tidak.”
“Bumi itu egois! Tuhan gak adil sama saya!” seru Meli kesal.
Rafli menggelengkan kepalanya. Ia mengelus tangan Meli pelan. “Gak boleh ngomong gitu. Kalau kamu kehilangan seseorang, Tuhan bakal ganti sama kebahagiaan yang baru.”
“Kebahagiaan apa lagi? Sampai kapan pun saya gak bakalan bisa bahagia, kalau Bunda sama Ayah gak ada lagi.”
“Itu berarti, kamu gak percaya Tuhan. Hei, kamu pasti bisa bahagia. Gak ada yang gak mungkin bagi Tuhan.” Laki-laki itu mengusap pipi Meli yang basah. “Kalau kamu nangis, Bunda sama Ayah kamu bakalan sedih di surga. Makanya, kamu gak boleh nangis-nangis lagi.”
“Masalah gak pernah berhenti buat muncul. Besok, masalah baru lagi. Lusa, masalah baru lagi. Gitu aja seterusnya. Capek banget.”
“Masalah sehari, cukup buat sehari aja, Mel. Tuhan yang bilang.”
“Yah emang sih. Tapi siklus nya gak pernah berhenti. Bahkan saya gak yakin bisa ngehadapin semua masalah yang datang.”
“Kamu meragukan, Tuhan?”
“Yah—bukan, tapi saya—”
“Jangan pernah ragu sama Tuhan, Mel.” Meli segera menunduk. Air matanya kembali mengalir.
“Saya ingat jelas. Bunda pernah bilang. Saya jelek kalau nangis. Katanya kayak monyet.” Rafli terkekeh kecil. “Kalau kata saya, kamu gak boleh nangis, karena kalau kamu nangis, besok-besok kamu gak bisa nangis lagi. Air matanya udah habis.”
Meli terkekeh kecil. Ia mengusap sisa air matanya. “Emang bisa habis yah, Kak?”
“Bisa lah. Makanya jangan nangis lama-lama.” Rafli mengusap rambut Meli pelan.
“Kak Rafli ....”
Rafli terkekeh kecil. “Hm?”
“Boleh saya peluk?” tanya Meli takut-takut. Rafli terkekeh kecil. “Gak ada yang gak boleh buat peri kecil.”
*****
Sembilan hari, setelah kejadian itu, hidup Meli berubah sembilan puluh derajat. Ia dan Leha kembali berteman seperti dahulu. Tak hanya itu, bahkan Kesya dan kedua temannya, ikut bergabung di dalam lingkup pertemanan Meli.
Semua berubah sejak, Rafli hadir juga di dalam hidup Meli. Mulai dari, menerima kenyataan dengan lapang dada, memaafkan orang lain, bahkan memaafkan diri sendiri.
Meli belajar banyak dari Rafli. Hari ini adalah hari terakhir mereka melaksanakan ujian terakhir di sekolah. Ke empatnya, memilih untuk menikmati bakso terenak di kantin sekolah. Karena besok-besok, mereka tidak akan bisa mencicipinya lagi. Karena harus melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.
“Gue kaget. Gue kira, Pak Andi sama Bu Eka deket, dan pacaran. Ternyata, Bu Eka mau nikah sama Pak Ridho.” Ucapan Khia, membuat mereka yang ada di sana tertawa pelan. Tidak dengan Meli.
“Betewe, foto yuk? Gue yang narik nih. Kalian ambil posisi aja,” kata Erlani, sembari mengangkat ponselnya. “Cis!” ucapnya, keempatnya berfoto bersama. Meli banyak tersenyum hari ini. Ponselnya berdering pelan. Dari nomor yang sama sekali tidak ia kenal.
“Gue ijin angkat telepon dulu,” kata Meli. Di balas anggukan oleh ketiga temannya.
*****
Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story about Melina [END]
Novela JuvenilStart : 24 Oktober 2021 End : 11 Maret 2022 [BUKAN UNTUK DI COPAS] [Judul awal : Dear math teacher] Andi tak menggubris apa-apa. "Masih ada yang mau bertanya?" tanyanya. Semuanya hanya diam. Pandangan Andi beralih pada Meli. "Kamu?" tanyanya. Me...