19. Truth or dare

956 109 1
                                    

       Kira-kira lima belas menit yang lalu, Bu Eka ijin pulang. Andi kembali dengan layar ponselnya, hingga suara cempreng Raras menggema di telinganya.

       “Bang Andiii!” Andi menoleh. Ia benar-benar terkejut dengan kehadiran Raras. Raras segera memeluk Andi erat. “Jangan di peluk dulu, tangan abang sakit, Ras,” kata Andi. Raras segera melepaskan dekapannya. Memandang Andi, hingga pada akhirnya ia terisak.

      “Kamu kenapa, hm?” Andi mengelus rambut Raras dengan sebelah tangannya. “Raras kasihan sama abang.”

         Andi tersenyum simpul. “Udah gak usah di pikirin.” Andi kembali mengelusi rambut Raras. Pandangan Andi beralih pada Meli. “Makasih,” katanya. Meli hanya berdeham pelan, kemudian memberikan kunci mobil.

       “Kalian lapar? Supaya makanannya di pesan,” ucap Andi. Pandangannya masih terfokus pada Meli. “Raras gak laper. Raras mau tidur aja.” Andi menatap Raras, kemudian menunjukkan sofa, supaya Raras tidur di sana saja. Raras melangkah pelan kemudian merebahkan tubuhnya.

        Sekarang hanya ada Meli dan Andi. Keduanya hanya diam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing. “Saya juga ngantuk. Tapi Raras udah tidur duluan di sana,” kata Meli pada akhirnya.

       Gadis itu menghela napasnya. “Kenapa sofa panjangnya, cuman ada satu sih? Kalau sofa tunggal kayak gitu, gimana saya mau tidur?” tanya Meli kesal.

      Andi menggeser badannya sedikit. “Hm kalau kamu mau, kamu bisa tidur di sebelah saya.” Tanpa pikir panjang, Meli naik ke atas brankar. Segera memunggungi Andi dan terlelap. Andi menggeleng-gelengkan kepalanya heran. Dengan gerakan pelan, laki-laki itu turun dari brankar. Melepaskan sepatu Meli, kemudian menaikkan selimutnya sampai dada.


*****


        Tepat pukul 19:00. Setelah membayar biaya perobatan Andi di meja resepsionis, ketiganya berjalan beriringan menuju parkiran. Sesuai permintaan Andi, Meli yang akan membawa mobil. Mobil berjalan dengan kecepatan sedang. Syukur Ferdy mengajarkan Meli membawa mobil saat masih SMP kelas IX.

        Raras ada di belakang. Remaja SMP itu kini terlelap tidur. Andi hanya fokus ke depan, hingga mobil berhenti karena lampu merah. Jalanan Jakarta memang tak pernah lolos dari kata macet!

       “Pak ....”

       “Hm?” Andi menaikkan sebelah alisnya. “Saya mau ngajak Bapak main truth or dare.” Kening Andi mengerut seketika. “Buat apa?”

       “Yah, gapapa. Cuman main aja. Gabut soalnya.” Andi mengangguk. “Oke, mulai dari siapa?” tanya Andi.

       “Bapak aja deh.” Andi mengangguk pelan. “Truth. Apakah kamu sedang dekat dengan seseorang?” Pertanyaan Andi barusan membuat Meli terkekeh. “Deket lah. Saya kan, lagi dekat sama Bapak,” ucapnya. Andi menaikkan sebelah alisnya. “Maksudnya?”

        “Yah, kan kita berdua duduk sebelahan. Gak Deket namanya?” Andi menghela napasnya kesal.

        “Giliran saya nih. Emm, Bapak suka sama cewek gak, sekarang?” Pertanyaan Meli barusan, membuat Andi mengetuk-ngetuk jarinya di dashboard. “Mungkin ya, mungkin tidak.”

        “HEH! Itu bukan jawaban namanya,” kata Meli kesal. Andi mengedikkan bahunya tak acuh. “Yang penting saya jawab.”

        “Yaudah deh terserah. Sekarang bagian dare,” kata Meli semangat. Andi mengangguk pelan. “Berhenti merokok. Itu, dare dari saya.” Cukup lama Meli menjawab. “Loh, gak boleh gitu dong. Merokok itu sebuah kebutuhan buat saya.”

       “Saya gak peduli. Pokoknya, dare ini harus kamu laksanakan. Harus!” kata Andi yang sama sekali tak menerima penolakan. Meli menghela napasnya berat.

      “Oke. Saya bakalan coba. Sekarang dare untuk Bapak. Emm, mungkin ini terdengar freak. But, saya mau kasih dare sama Bapak, bahwa di antara kita, gak ada yang boleh jatuh cinta satu sama lain.” Saat itu pula, Andi tertawa terbahak-bahak.     

      “Heh, kamu pikir saya bakalan suka sama kamu? Enggak lah. Denger yah, kamu itu adiknya Ferdy. Ferdy sahabat saya. Gak heran dong kalau saya anggap kamu kayak adik sendiri juga.” Andi geleng-geleng kepala. “ada-ada aja kamu, Mel-Mel.” Meli memejamkan keduanya matanya malu.

*****

       “Kerjain tugas dulu baru tidur.” Meli terbelalak saat Andi menarik ponselnya, sementara buku-bukunya berserakan di meja. “Gak sopan tahu! Masuk ke kamar orang gak Ijin!” kata Meli sebal. Andi menghela napasnya. “Kerjain dulu. Baru main handphone.”

       “Tugas saya dari handphone padahal. Yakali gak buka handphone.”

       “Tugas apaan dari handphone. Bilang aja mau cari tugas di brainly.” Meli bungkam. Ia menatap Andi lamat-lamat. “Besok ada ekonomi. Susah tahu Pak, tentang akuntansi. Ribet!” Andi duduk di sebelah Meli. Membuat gadis itu sontak menggeser badannya sedikit menjauh.

      “Yang mana yang susah?”

      “Bapak mau bantuin? Bapak kan sakit.” Meli menatap Andi yang kini mulai menyentuh bukunya.

      “Saya gak sakit! Cuman—”

       “Cuman tangan kiri Bapak biru. Udah gak perlu di perjelas.” Meli terkekeh kecil. “Memang Bapak tahu Ekonomi? Kan jurusan Bapak bukan di sana.”

       “Tau. Ekonomi salah satu pelajaran paling mudah.”

       “ASTAGA. SANTET JANGAN?” Meli refleks menepuk dahinya. “Why? There is a problem, with what I said? Kalau ada, bilang.” Meli menatap Andi horor. “Gak perlu bahasa Inggris deh, Pak. Nilai bahasa Indonesia saya aja sebatas KKM.”

       “Itu urusan kamu. Bukan urusan saya.”

       “Dih songong banget yah, Pak.”

       “Songong?” Andi mengernyit.

       “Iya, songong. Bapak gak tahu arti songong?” Andi  menggelengkan kepalanya pelan. “Bahasa dari mana?”

       “Pluto, Pak. Pluto!”

       “Oh, Pluto. Pantesan saya gak ngerti.” Hening. Beberapa menit, keduanya malah tertawa terbahak-bahak. Raras yang tengah asik dengan komix di tangannya menoleh, karena kamar Meli dan Raras bersebelahan. “HADEH. GINI BANGET YAH KELAMAAN NGONTRAK DI BUMI. UDAH SEBULAN KAGAK LUNAS LAGI.”

       Keduanya menoleh seketika. Meli tertawa semakin kuat, sementara Andi menatap Raras heran. “Hush. Kamu belajar dari mana sih, hah?”

      “Dari Meli,” kata Raras polos. Tawa Meli berhenti seketika. “Loh? Kok gue? Ck, fitnah-fitnah. Enak aja! Heh, gue gak pernah ngajarin lo ngomong gitu yah! Lo itu gak boleh asal nuduh—”

       “Ras. Kamu tidur sana. Udah jam berapa ini?” kata Andi, membuat Raras kembali ke dalam kamarnya.

       “Saya udah boleh tidur belum, Pak?” tanya Meli malas.

       “Belum.”

       “Kok? Raras kan udah bisa tidur. Kok saya belum? Gak adil banget.”

       “Tugas  kamu belum kelar kan, hm?” Meli menelan salivanya gugup. “Iya sih, hehehe.”

*****

Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.

Story about Melina [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang