Andi menghela napasnya. “Itu bukan tawaran. Itu keharusan,” ucapnya. “Ngomong-omong kamu nguping yah?”
Meli berdecak malas. “Bukan dosa kali!” katanya. “Tapi gak sopan!” ucap Andi. Meli memutar bola matanya jengah. “Kalau Bapak pergi ke Sumba, gimana sama saya dan Raras?”
“Saya pergi sementara saja. Nanti juga pulang.” Meli berdecak. “Saya tahu. Tapi--” Andi memotong ucapan Meli, “Saya bakal biayain kalian.” Laki-laki itu mengeluarkan sesuatu dari dalam dompetnya. Kartu ATM. “Setiap bulan, gaji saya masuk ke sini. Kalian bisa menggunakannya. Di dalamnya juga, masih ada saldo yang cukup untuk makan, dua bulan.”
Bukannya senang, Meli malah memandang Andi dengan mata nanar. Meli tidak butuh semua itu. Toh, dia mendapatkan uang setiap bulan dari abangnya.
“Siapa yang bakal ingatin saya buat sikat gigi sebelum tidur?”
“Yang nyuruh saya supaya gak pakai baju yang tipis di rumah?”
Yang nyuruh saya berhenti ngerokok? Yang nyuruh saya ini itu--”
“Kamu jagain Raras. Anggap dia adik kamu sendiri,” sanggah Andi.
Meli berdecak malas. Ia memandang Andi tak percaya. Gadis itu mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Andi. “Pak, jangan pergi yah? Saya mohon.”
Andi terkekeh kecil. Kemudian mengusap rambut Meli. “Kamu kenapa sih, hah? Kamu kan bisa, tinggal sama Raras di sini. Ada Bi Sindi juga.”
“Tapi kan, Bi Sindi itu--”
“Saya kenal Bi Sindi. Sudah lama malah. Bi Sindi, tukang pijat langganan Mama dulu.”
“Bukan masalah itu. Yang antar saya ke sekolah? Yang antar Raras? Siapa?”
“Saya gak bakal biarin kamu naik angkutan umum. Apalagi naik motor sendiri. Kalau kamu kenapa-kenapa, saya bisa apa nanti? Jadi, saya bakalan memperkerjakan Sopir pribadi buat kalian. Lagi pula, mobil saya gak bakal di bawa ke Sumba. Kamu tenang aja.”
Meli menatap Andi sebal. “Kita LDR-an dong?”
“Yah, mau gimana lagi?” Andi terkekeh kecil. “Di Jakarta, kamu hati-hati sama Raras. Kamu jangan ngerokok lagi. Oke?”
“Iya-iya. Gak bakalan ngerokok lagi. Janji!”
“Pinter!” Andi tersenyum. Meli segera berlari untuk menutup pintu. “Takut ada yang lihat,” ucapnya. Andi terkekeh kecil. “Kenapa memang?”
“Yah gak boleh aja.” Gadis itu kembali berdiri di hadapan Andi. Setelah itu berjinjit untuk mengecup bibir laki-laki itu.
Jantung Andi berdetak sangat kencang. Andi malah menahan tengkuk Meli untuk semakin memperdalam ciumannya. Meli yang hampir kehilangan napas, buru-buru menggigit bibir laki-laki itu, membuat Andi mendesis sakit. Meli terkekeh kecil. “Maaf.” Andi menyentuh bibirnya.
“Kamu kalau mau gigit, pelan dong. Sakit tahu.”
“Habisnya, Bapak bikin saya kesal.”
“Yang mulai duluan siapa?”
“Saya,” kata Meli cepat. Andi tertawa kemudian hendak mengecup bibir gadis itu. “Stop!” Meli segera menempelkan jari telunjuknya tepat di bibir Andi. Andi tersenyum kemudian menarik tangan Meli.
“Makasih. Bibir kamu—bikin saya gak mau berhenti buat cium—”
“Pak. Udah deh. Saya malu tahu!”
“Katakan pada saya, maksud dari ciuman ini,” pinta Andi.
Meli menundukkan kepalanya. Gadis itu memejamkan kedua matanya malu. “Mungkin Bapak sudah tau, maksud dari ciuman ini.
Sebelum Bapak pergi, ada baiknya Bapak tau, isi hati saya. Emm saya memang bodoh, karena sudah jatuh hati sama Bapak. Saya gagal soal dare itu. Saya mengaku salah.” Meli berulang kali menghela napasnya.
“Sa-saya—”
“Saya suka kamu,” potong Andi cepat, membuat Meli segera mendongak.
*****
Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story about Melina [END]
Ficção AdolescenteStart : 24 Oktober 2021 End : 11 Maret 2022 [BUKAN UNTUK DI COPAS] [Judul awal : Dear math teacher] Andi tak menggubris apa-apa. "Masih ada yang mau bertanya?" tanyanya. Semuanya hanya diam. Pandangan Andi beralih pada Meli. "Kamu?" tanyanya. Me...