11. Perempuan dan Rokok

1.2K 133 2
                                    

"Kenapa nggak mungkin? Kamu mau buktinya?" Andi menaikkan sebelah alisnya. Meli mengernyitkan dahinya bingung. "Hah? Gimana maksudnya?" tanyanya ambigu. Andi menghela napasnya. "Enggak ada yang tau takdir Tuhan itu kayak gimana. Siapa tau aja kan, besok nanti saya nikahin kamu," ucap Andi enteng.

"Ih, amit-amit. Masa saya punya suami kayak Bapak. Udah umur beda jauhh, banyak aturannya lagi. Mending gausah nikah aja kalau gitu," lirih Meli.

Andi berdecak kesal. "Saya juga kalau di kasih pilihan buat nikah sama kamu atau sama yang lain, saya pilih yang lain sih. Kamu nyebelin soalnya. Enggak bisa di atur," kata Andi tak mau kalah.

"Dih, yaudah kali. Saya enggak pedulii," sahut Meli kemudian dengan cepat menuju mobil. Dan sial! Hampir saja ia di serempet motor. Kalau bukan ada Andi yang menariknya, mungkin Meli sudah terluka sekarang.

"Jangan lari kayak anak kecil, Meli! Nggak bisa?" kata Andi marah. Meli menggembungkan pipinya sebal. Gadis itu menatap cekalan tangan Andi di pergelangan tangannya. "Nggak sengaja," jawab Andi buru-buru.

Meli melangkah masuk ke dalam mobil. "Makasih loh, tadi," lirihnya. Andi menggerakkan kepalanya lebih dekat ke arah Meli. Meli yang kaget segera mendorong tubuhnya mundur. Andi menghela napasnya, kemudian memasang sabuk pengaman untuk Meli. "Makasih kedua kalinya," jawab Meli sembari mengecek seluruh belanjaannya.

"Sini, struk belanjanya," pinta Andi. Meli merogoh sakunya, kemudian memberikannya pada Andi. Andi tampak fokus membacanya. Susu beruang tiga kaleng, kopi instan, mi instan, yoghurt, sosis, dan berbagai roti siap makan.

"Saya enggak beli rokok kok. Enggak usah marah gak jelas," sambung Meli. Andi mengantungi struk belanja tersebut, kemudian kembali menjalankan mobilnya.

Di mobil, tidak ada yang memulai pembicaraan. Hanya musik jazz yang mengisi kekosongan di mobil ini. Meli dengan pikirannya yang sedang berkelana, dan Andi yang sibuk dengan jalanan.

***

"Bapak nggak mau makan bareng sama saya? Mumpung saya baik loh," tawar Meli begitu turun.
"Baik dari mana? Kamu juga beli jajan pakai uang saya," kata Andi kemudian turun dari mobil.

Meli berdecak malas. "Oh iya, Pak. Saya gak pakai uang Bapak beli rokok kok. Tenang aja." Andi seketika menoleh. Langkahnya terhenti. "Kamu beneran beli rokok? Hah?" tanyanya kaget.

Meli mengangguk kecil. "Kan tadi kamu bilang enggak beli. Kenapa sekarang-" Ucapan Andi terpotong. "Saya emang enggak beli pake uang Bapak kan? Makanya di struknya enggak ada," jelasnya.

Laki-laki itu menghela napasnya pelan. "Kamu harus berhenti merokok. Apapun alasannya, kamu harus berhenti merokok," kata Andi.

Meli tertawa kecil. "Kenapa ngatur-ngatur?"

"Demi kesehatan kamu, Meli. Rokok itu berbahaya. Apalagi buat perempuan," sahut Andi.

"Hanya untuk perempuan yang hamil, Pak! Saya kan gak hamil. Jadi, bebas dong ngerokok," tutur Meli ringan.

"Kamu pura-pura bodoh kan? Enggak harus hamil dulu, baru nggak bisa merokok. Anak-anak di bawah umur aja ada larangannya," ujar Andi. Meli menghela napasnya kesal. "Saya enggak di bawah umur lagi. Umur saya udah di atas tujuh belas," jawabnya.

"Yaa tapi, enggak enak aja lihat perempuan merokok. Enggak pantes," balas Andi.

"Pokoknya, apapun yang Bapak bilang, saya enggak peduli. Perempuan yang enggak bisa merokok itu, cuma perempuan hamil!"

"Oh jadi, harus hamil dulu supaya kamu berhenti merokok?" Andi menaikkan sebelah alisnya. Meli kembali tertawa. "Iya dong ...."

"Mau, sama saya?" tanya Andi cepat. Tawa Meli seketika berhenti. Ia menoleh ke arah Andi. "Hah?" tanya dia dengan mulut terbuka.

Andi menggeleng. "Lupain." Meli yang masih bingung, segera pergi dari sana. Dan, keduanya berpisah.

Clek ....

Meli menutup pintu. Berjalan melewati tangga, gadis itu melangkah pelan ke dalam kamar. Meli berusaha memutar otaknya. "Maksud dia gimana sih? Gue hamil karena Pak Andi gitu? Kok-Argh! Begoo banget sih gue!" Meli melempar kantung kresek yang ia bawa, ke lantai.

Meli segera melompat di kasur. Ia menutup wajahnya dengan bantal. Wajahnya benar-benar merah sekarang. "Ya ampun, Mel. Plisss deh. Jangan ngaco. Gak mungkin kan, Pak Andi ngomong gitu? Gue aja kali yang kebegoan jadi orang!" Meli mengacak-acak rambutnya gemas.

"Come on, Mel! Jangan nething duluuu!" Dia bermonolog. "Tapi, dia yang buat gue ambigu. Enggak-enggak. Kayaknya gue harus hindari Pak Andi mulai sekarang. Gue nggak mau hamil di luar nikah kayak Tia! No, no!" Meli memejamkan matanya kuat-kuat.

Sial. Perutnya bunyi.

Meli menyentuh perutnya. Di elusnya pelan, namun dia malah menggeleng geli. "Gue enggak bisa bayangin kalau di umur segini, gue hamil dan ayah anak gue itu Pak Andi. Ogah anjirrr. Amit-amit!!!" Buru-buru dia turun ke bawah untuk menyiapkan mi instan.

Dia menoleh ke arah meja, saat menyadari sebuah pesan masuk ke ponselnya. Ada pesan dari nomor yang tak ia kenal.

Jaga kesehatan, Meli. Jangan sampai cakitt.
With love, Faiz ♡

Meli memandang layar ponselnya dengan tatapan ngerih dan geli. "Tuh orang bego banget dah. Di blokir, tetap aja ada usaha buat chat gue dari nomor lain." Meli bermonolog. Gadis itu bergerak untuk memblokir kontak Faiz. Mungkin seminggu ke depan, akan ada lagi nomor baru yang masuk ke dalam ponselnya.

Ingin sekali ia mengacak-acak rambut laki-laki itu. Laki-laki yang sampai sekarang tak bisa ia lupa. Meli selalu saja menutupi rasa rindunya dengan perkataan benci. Sebenarnya enggak sama sekali.

Bahkan pertama kalinya Meli merokok, saat ia mengetahui kebusukan Faiz yang dengan teganya berhubungan intim dengan perempuan yang Meli kenal. Air mata Meli seketika mengalir.

"Cantik banget. Hm, pacar siapa sih?" Melebarkan senyumnya, Meli terkekeh kecil. "Pacar siapa yah? Cariin pacar dong."

Faiz menggelengkan kepalanya cepat. "Kamu kan pacarnya Faiz. Iya nggak sih?" Saat itu pula, Meli tertawa geli, kemudian masuk ke dalam dekapan Faiz. "Makasih dresnya. Bagus banget loh!"

Memori yang tak pernah ia lupakan itu, membuat Meli menghela napasnya dalam-dalam.

"Lo jahat sih, Fa. Jahat banget malah. Gue benci ke elo. Tapi gue kangen. Sedikit tapi." Dia duduk di lantai. Memeluk lututnya erat. "Harusnya gue enggak pernah kenal sama cowok bajingan kayak lo. Gue enggak bisa bayangin, apa yang lo buat ke Tia, lo buat ke gue. Mungkin gue udah mati karena bunuh diri."

Dia segera bangkit. Mengisi perutnya jauh lebih penting dari pada harus mengenang manusia bajingan seperti Faiz.

*****

Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.

Story about Melina [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang