“Kita akhiri pelajaran hari ini. Sampai jumpa Minggu depan,” ucap Pak Andi kemudian berlalu pergi dari ruangan. Laki-laki itu berjalan menuju sepeda. Harga bensin di sini, jauh lebih mahal di banding Jakarta. Makanya warga Sumba di sini, rata-rata memakai sepeda kalau mau pergi ke manapun. Kening Andi mengernyit saat melihat seorang perempuan yang tengah merapikan jualannya yang terjatuh ke tanah.
Buru-buru Andi ikut membantu, membuat perempuan itu mengernyitkan dahinya. Karena sebelumnya, dia tak pernah melihat Andi di sini.
Menyadari kalau perempuan di hadapannya menatapnya kebingungan, Andi menghentikan aktivitasnya. Dia menatap perempuan itu kembali. Membuat perempuan berlesung pipi itu, buru-buru membuang pandangannya.
“Emm, saya Andika.” Andi mengulurkan tangannya. “saya guru baru di sini,” sambungnya. Perempuan itu dengan ragu-ragu membalas uluran tangan Andi. “Saya, Karenita. Panggil Karen aja, Kang,” katanya dengan logat Sunda yang khas.
Andi mengangguk. “Panggil saya, Andi.”
“Iyo, Kang Andi.” Karen tersenyum manis. Andi mengangguk, kemudian segera mengucapkan pamit untuk pulang. Perempuan bernama Karen itu, tersenyum dengan mata yang berbinar.
*****
“Yaelah, Rian-Rian. Lo itu ya, butol. Tau gak? Bucin tolol.” Suara seseorang yang menjadi lawan bicara Riano dari telepon. “Nama gue Riano. Bukan Rian!”
“Ye, yang penting gue gak ganti nama lo, jadi Budi.” Sekarang, laki-laki itu tertawa ngakak. Riano menghela napasnya.
“Gue mau tau, kenapa lo mau ikut podcast,”
“Wan, kayak yang gue bilang. Gue butuh cerita. Tapi gatau tempatnya di mana. Makanya, gue hubungi lo.”Laki-laki yang namanya Iwan mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Iwan adalah salah satu teman Riano dulu. Saat menempuh sekolah dasar. Sekarang, Iwan sudah berhenti sekolah, karena keterbatasan biaya. Namun hal tersebut tidak membuat Iwan patah semangat. Buktinya, sekarang Iwan bekerja menjadi seorang YouTubers terkenal.
“Oke, Rian. Gue sambungin teleponnya langsung. Kita mulai podcastnya sekarang.” Riano mengangguk pelan. Laki-laki itu menghela napasnya dalam-dalam.
“Ini pesan gue, buat satu cewek yang buat hidup gue lebih berwarna setelah gue kehilangan semuanya. Mulai dari sosok Ayah yang sebenarnya, sosok Kakak. Dan—sosok perempuan yang gue panggil Mama.”
Riano memejamkan matanya erat-erat. Semoga saja, apa yang akan ia sampaikan, akan di dengar oleh semua orang. Termasuk Melina.
“Gue anak kembar. Kembaran gue meninggal waktu kami masih SMP kelas dua. Kembaran gue, sering gue panggil Oon. Bukan karena sifatnya. Tapi—karena namanya Rion. Dia laki-laki hebat yang pernah gue kenal. Dia suka makan sate, dan gak bakalan bagi-bagi. Kalaupun dia mau bagi, paling bumbunya doang sedikit.”
“Gue pernah dengar, kalau dia punya sebuah geng. Namanya “Bukan beban keluarga”. Terdiri dari tiga anggota. Dua orang cewek. Rion juga jatuh cinta sama salah satu diantara mereka. Tapi, karena dia gak mau ngerusak hubungan persahabatan dia, dia milih buat mendam dan gue tau semuanya dari buku diary yang dia buat. Tentang sikap perempuan itu, makanan kesukaannya, lagu favorit, gue tau semuanya dari buku itu, sampai-sampai gue ikutan jatuh cinta sama orang yang sama.
Hingga suatu saat, dia sakit. Berulang kali masuk rumah sakit, karena kanker yang dia punya. Mama sama Papa bolak balik minjam uang sana-sini karena harus biayain obat-obatan Rion. Hingga pada akhirnya, Kakak gue itu meninggal tepat di hari dia ujian. Yang buat gue respect, dua orang temennya cewek datang buat nemenin dia sampai ke liang lahat sampai-sampai gak ikut ujian.”
“Namun sejak saat Rion meninggal, semua hidup gue berubah banyak. Bokap gue, sering gak pulang ke rumah karena alasan kerja buat nutupin hutang. Udah sampai dua tahun lamanya, Bokap pada akhirnya bawa perempuan yang gak gue tau siapa. Perempuan itu masih muda. Kata Bokap, dia bakalan nikahin perempuan itu, dan cerai sama Nyokap.”
“Mulai saat itu, Nyokap sakit. Gue berulang kali bawa Nyokap ke Psikiater. Mama depresi berat dan berulang kali mencoba untuk bunuh diri. Lagi dan lagi gagal. Meski pada akhirnya, Nyokap meninggal karena minum racun tikus. Gue ngerasa terpukul. Salah satu temen Rion datang buat selalu ada buat gue. Bahkan dia janji, gak bakalan ninggalin gue, meski pada akhirnya dia ingkar sama janjinya itu.”
“Gue gak salahin dia. Gue mau introspeksi diri aja. Mungkin, emang bukan gue tipe yang dia mau. Dia, pacaran sama laki-laki yang jelas-jelas gue kenal. Dia nyuruh gue buat jauhi dia, hanya karena temennya dia suka sama gue. Dia gak mau hubungan persahabatan mereka rusak. Dan lagi-lagi gue respect sama sifatnya dia.”
“Mungkin ini terkesan berlebihan. Tapi, gue mau ngomong sesuatu yang penting. Gue emang gak tau soal cinta. Karena yang gue tau, cinta itu hanya antara Ibu dan Anaknya. Namun, setelah mengenal dia, gue tau jelas apa itu cinta yang lebih dari sekedar kata menyukai, dan menyayangi, lawan jenis.”
“Gue dapat semuanya dari dia. Gue juga gak tau, apa itu rasa sakit. Sampai-sampai gue rasain kehilangan seseorang yang bahkan belum pernah gue gapai. Makasih banyak, Mel. Karena lo, udah ngajarin gue dua rasa yang berbeda.”
“Yang terakhir, ada yang mau gue sampaikan. Ternyata benar yah. Orang yang benar di waktu yang salah, benar-benar ada. Kalau ada apa-apa, lo bisa hubungi gue. Gue bisa jadi bahu buat tempat lo bersandar.”
*****
Jangan lupa menekan tanda bintang. Semoga harimu menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story about Melina [END]
Fiksi RemajaStart : 24 Oktober 2021 End : 11 Maret 2022 [BUKAN UNTUK DI COPAS] [Judul awal : Dear math teacher] Andi tak menggubris apa-apa. "Masih ada yang mau bertanya?" tanyanya. Semuanya hanya diam. Pandangan Andi beralih pada Meli. "Kamu?" tanyanya. Me...