Bab 9 (pasar lagi)

402 40 0
                                    


I'm coming...

Gus Asad balik lagi..

Jangan lupa tinggalkan jejak

Happy reading
***


Setelah puas belanja dan mengisi perut yang keroncongan, Khadijah dan Ning Mila memutuskan untuk segera kembali ke ndalem. Cuaca siang ini cukup terik membuat keringat bercucuran di dahi keduanya.

"Assalamualaikum, Ning."

Seseorang berucap salam tepat ketika Khadijah dan Ning Mila tiba di depan ndalem.

"Waalaikum salam, eh, Kang Imron," jawab Ning Mila saat melihat kang Imron yang menyapanya.

"Ada apa ya kang?" tanya Ning Mila penasaran dengan kedatangan Kang Imron.

"Punten Ning, tadi disuruh Umi, katanya minta diambilkan makanan yang ada di meja." Kang Imron menjelaskan maksud kedatangannya.

"Umi di sawah?" Ning Mila justru bertanya balik. Pasalnya, tadi pagi ini mengajak Ning Mila untuk membuat kue.

"Nggih Ning, Umi sedang memmantau sawah."

"Sedang ada apa di sana?" Ning Mila makin penasaran.

Sementara Khadijah masih saja memperhatikan dua orang itu dengan pikiran yang tengah berkelana. Sejenak memperhatikan kang santri di depannya. Kemudian memalingkan wajahnya saat menyadari kesalahannya.

"Bukankah dia yang di toko Kitab." batin Khadijah setelah mengingat siapa Kang Imron.

"Sedang panen padi Ning."

"Lumayan nih, bisa buat persiapan ramadhan," gumam Ning Mila.

"Cha, susulin Umi yuk." Tiba-tiba Ning Mila berucap dan sukses mengagetkan Khadijah dari lamunannya.

"Eh, nggih Ning," jawab Khadijah sedikit gugup karena terkejut dengan ajakan Ning Mila.

Walau di pesantren sebelumnya Khadijah juga sering ikut membantu di sawah, tapi tetap saja ada yang berbeda untuk kali ini. Entah apa itu, Khadijah juga tidak tau.

"Kang, nanti saya saja yang antar ke sana, kang Imron boleh kembali," ucap Ning Mila setelah mendengar persetujuan dari Khadijah.

"Baik Ning, kalau begitu saya pamit. Assalamualaikum."

"Waalaikum salam." Serempak keduanya menjawab salam.

Kang Imron berlalu. Begitu juga dengan Khadijah dan Ning Mila yang bergegas memasuki ndalem. Setelah meletakkan semua barang belanjaannya, keduanya bersiap untuk menyusul ke sawah.

"Sudah siap, Ning?" Khadijah menghampiri Ning Mila yang baru keluar dari kamar.

"Sudah mbak, mbak Icha tidak ganti baju dulu, kita mau ke sawah loh?" Ujar Ning Mila yang memperlihatkan Khadijah masih memakai sarungnya.

Memang sejak tadi Khadijah sibuk mempersiapkan makanan yang akan dibawa tanpa peduli dengan pakaiannya. Sementara Ning Mila, dia langsung memasuki kamarnya dan keluar dengan memakai celana training kedodoran di padukan dengan kaos yang kedodoran pula.

"Iya Ning, Icha sudah siap. Tak apa Icha pakai ini saja." Khadijah tersenyum mendapati pertanyaan seperti itu.

Memang sejak dulu, ketika Khadijah ikut membantu di sawah selalu memakai pakaian seadanya.

"Ya sudah. Ayo kita berangkat."

Ning Mila berjalan di depan membawa teko sedangkan Khadijah yang di belakang membawa makanan.

*****

Pagi ini, seusai sarapan dengan keluarga. Gus Asad memutuskan untuk kembali ke toko Kitabnya. Membantu kang Imron mengurus pesanan kitabnya. Walaupun sudah ada beberapa kang santri lain yang membantu terutama dalam jasa pengiriman, Gus Asad tetap merasa bertanggung jawab atas semuanya.

Gus Asad mulai mengecek pesanan yang sudah siap antar. Memastikan bahwa tidak ada kesalahan sedikit pun.

Toko Kitab yang didirikannya 3 tahun lalu, saat dirinya masih berada di Kairo ini, saat ini sudah mulai berkembang. Yang awalnya hanya sepetak dengan satu lantai kini sudah menjadi 2 lantai dengan luas yang bertambah. Posisinya yang berada di antara pesantren dan beberapa sekolah negeri membuatnya lebih strategis untuk di jangkau banyak kalangan.

Posisi toko memang berada di luar area pesantren. Karena itulah, para santri harus mendapatkan izin pihak pengurus untuk berkunjung. Namanya memang toko kitab karena sebagian besar memang menyediakan berbagai kitab kebutuhan santri. Namun, buku-buku kebutuhan pelajar formal pun tersedia di sini.

"Punten, Gus, tadi diminta Abah untuk membelikan tikar untuk menjemur padi hasil panen." Tiba-tiba, seorang kang santri datang menghampiri Gus Asad yang tengah sibuk dengan catatannya.

"Abahnya di mana kang?" tanya Gus Asad seraya merapikan barang-barangnya.

"Abah sama Umi ada di sawah," jawab Kang santri itu.
Gus Asad mengangguk kemudian bergegas ke pasar. Awalnya Gus Asad ingin ke ndalem untuk mencari apa yang di butuhkan Abahnya. Namun, ia urungkan saat mencerna kembali perintah Abahnya.

Tiba di pasar, Gus Asad segera bergegas mencari toko langganannya. Baru saja akan melangkah, pandangnya menjumpai seseorang yang beberapa hari terakhir mengusik kedamaiannya.

Gus Asad mendekati gadis itu. Melupakan tujuan awal kedatangannya. Dilihatnya gadis itu tengah memilih beberapa hijab di sana. Ya, Gus kini tengah berada di toko hijab.

Gus Asad melirik satu warna yang menurutnya akan sangat manis jika dikenakan gadis cantik di depannya ini. Posisi gadis itu membelakangi Gus Asaddan mungkin gadis itu juga tidak tau kehadiran Gus Asad.

Perlahan tangan Gus Asad tergerak untuk mengambilnya. Tepat saat tangan itu meraih kain hijab itu, ada tangan mungil lainnya yang juga bermaksud sama. Gadis itu mendongak, menatap siapa yang ada di depannya.

Deg.

Jantung Gus Asad serasa berdetak lebih cepat saat netra dua makhluk berbeda kelamin ini bertemu. Setelah beberapa detik saling beradu pandangan, keduanya kompak memalingkan wajahnya saat menyadari kesalahannya.

"Apa kau menginginkannya?" tanya Gus Asad berusaha menghilangkan keheningan.

"I-iya Kang," jawab gadis itu dengan masih menunduk.

"Ambillah, biar aku yang membayarnya," ujar Gus Asad seraya menyerahkan kain itu pada gadis di depannya. Entah dorongan dari mana, Gus Asad berani melakukan hal itu.

"Tidak perlu Kang, biar saya bayar sendiri." Nampak gadis itu berusaha untuk mencegah Gus Asad. Namun, diacuhkan oleh Gus Asad. Gus Asad tetap berjalan menuju kasir.

"Mbak, tolong bungkus hijab yang ada pada dia, dan ini uangnya," ucap Gus Asad seraya menunjuk kearah Khadijah kemudian menyerahkannya uang seratus ribu pada mbak kasir itu.

Setelah membayar hijab itu, kemudian Gus Asad berlalu dari toko hijab. Keluar dri toko, Gus Asad kembali termenung. Memikirkan apa yang baru saja dilakukannya dan hal apa yang membawanya ke sana.

"Astaghfirullah ...." Gus Asad beristighfar saat mengingat alasan kedatangannya ke pasar.

"Benar-benar, makhalul khotho' wannisyan, tempatnya salah dan lupa," gumam Gus Asad saat menyadari kecerobohannya.

Gus Asad bergegas ke toko tikar untuk melanjutkan niat awalnya. Sepanjang kaki melangkah, mulut Gus Asad tak henti-hentinya bergumam istighfar. Berusaha meminta ampun pada sang kuasa atas apa yang baru saja diperbuat.

"Ya Allah, ampuni hamba-Mu yang bodoh ini Ya Rabb. Sungguh dangkal iman hamba, sampai-sampai tak mampu menahan godaan syaitan yang satu ini." Gus Asad tak mampu untuk menahan penyesalan itu. Hampir saja air matanya keluar menggambarkan kegundahannya.

Setelah cukup lama menunggu sang penjual mengemas pesannya, Gus Asad segera beranjak dan melangkahkan kakinya menuju Abahnya berada. Gus Asad harus kembali lagi ke pesantren sebelum menuju sawah. Karena letak sawah yang mengharuskan Gus Asad melewati pesantren terlebih dahulu.

*****

Tabarrukan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang