Bab 14 (Bagaimana tindakannya?)

385 34 0
                                    

Lanjuttttt

Jangan lupa tinggalkan jejak
Vote komen

Happy reading
***

Khadijah bersama dua Ningnya kini tengah sibuk di dapur. Berkutat dengan berbagai bahan masakan yang siap di sulap jadi berbagai makanan lezat.

"Ning, mau masak apa??" Khadijah mengeluarkan potongan ayam dari kulkas.

"Bagaimana kalo ayam kecap, kayak kemarin, mbak?" ujar Ning Mila antusias.

"Wahh, Kamila bisa masak nih?" goda Ning Sabrina.

Khadijah tersenyum melihat dua saudara ipar ini saling lempar godaan.

Hampir 30 menit kemudian, makanan sudah siap di meja makan. Ketiganya bergegas merapikan dapur yang telah berantakan karena peperangan yang terjadi.

"Mil, kamu pakai telon, yah?" Ning Sabrina mengungkapkan hal janggal menurutnya.

"Tidak, Mbak. Kenapa memang??" Ning Mila bingung dengan pertanyaan Kakak iparnya itu. Sedangkan Khadijah masih serius mencuci peralatan yang tadi digunakan.

"Tidak, hanya saja, sedari tadi Mbak mencium bau minyak telon begitu menyengat," jelas Ning Sabrina.

Ning Mila mengerutkan keningnya mendengar penuturan Kakak iparnya. Sesaat kemudian, Ning Mila menghadap Khadijah yang tengah mencuci di wastafel. Ning Mila tersenyum saat teringat kebiasaan teman barunya itu.

Bukan tanpa alasan, selama satu Minggu lebih tinggal bersama, Ning Mila mulai mengetahui beberapa hal kebiasaan Khadijah. Termasuk juga dengan Khadijah yang lebih suka wangi telon baby dari pada parfum menyengat.

"Bukan Mila, Mbak. Tapi tuuuu." Ning Mila menunjuk ke arah Khadijah dengan dagunya. Awal

Pandangan Ning Sabrina mengikuti arah tujuan Ning Mila. Ning Sabrina tersenyum saat melihat gadis cantik di depannya. Sungguh, dia benar-benar merasa ada hal baru dalam diri santriwati kalem di depannya.

"Sudah selesai, Mbak?" Ning Sabrina mendekat ke arah Khadijah.

"Sudah, Ning." Khadijah tersenyum saat Ning Sabrina berada tepat di depannya.

"Jangan begitu, Mbak. Panggil Mbak Bina saja. Saya rasa kita seumuran, saya baru masuk 22 tahun loh." Ning Sabrina meraih tangan Khadijah.

Khadijah tersenyum menanggapi ucapan Ningnya itu, kemudian berkata. "Nggeh, Ning. Kita memang seumuran, Icha juga baru mau masuk 22. Tapi, Ning itu termasuk keluarga ndalem, sudah seharusnya Icha menghormati, Ning."

"Sepertinya memang tidak salah, jika dia memang memilih mu," gumam Ning Sabrina yang masih samar-samar terdengar oleh Khadijah.

"Sudah, ayo makan, yang lainnya sudah siap di meja makan." Ning Mila berseru dari ruang makan. Entah sejak kapan gadis itu bergerak dari sana.

"Ayo, Mbak, kita makan," ajak Ning Sabrina seraya meraih tangan Khadijah.

"Mmm, maaf, Ning. Icha di sini saja," tolak Khadijah karena merasa tak enak hati untuk makan satu meja dengan seluruh keluarga Kyainya.

"Sudahlah, mbak. Tak apa kita ke sana. Kita makan malam bersama, ayo." Ning Sabrina menarik Khadijah ke ruang makan untuk berkumpul dengan yang lainnya. Sementara Khadijah hanya bisa menunduk tak berani menolak lagi.

Seluruh anggota keluarga ndalem sudah bersiap di kursi masing-masing. Ning Mila menarik Khadijah agar duduk tepat di sampingnya. Tepat menghadap seorang kang santri di depannya.

Umi Sakinah hanya bisa tersenyum melihat tingkah anak bungsunya itu. Memang terkadang ada saja tingkah aneh yang di buat si bungsu itu.

Semua berdoa setelah makanan siap di piring masing-masing. Seperti biasa, Khadijah hanya mengambil nasi dengan sayur saja. Tanpa berminat pada berbagai olahan dari daging.

Khadijah makan Dengan menundukkan kepalanya, sesekali melirik sekeliling. Awalnya memang tak berani mendongak. Namun, suatu hal menarik perhatiannya.

"Kenapa ada Kang santri itu di sini? Kenapa dia tidak canggung akan situasi ini? Apakah dia sudah lama ikut di Ndalem ini? Dan siapakah orang di sampingnya, apakah dia putra Abah? Kalo di lihat dari penampilan, dia seperti Abah dan Gus Hakeem," batin Khadijah saat mata indahnya menangkap dua orang di depannya.

Tepat di depannya, seorang Kang santri yang pernah di lihatnya di pesantren sebelumnya, dengan penampilan, sarung dan kaos oblong warna hitam. Terlihat sederhana tapi ada hal yang cukup mencuri perhatiannya.

Sementara di sebelah Kang santri itu, ada seorang yang terlihat sedikit lebih muda dengan penampilan yang hampir sama dengan Abah Zaid dan Gus Hakeem. Menggunakan gamis putih polos dengan sorban di kepalanya yang bertengger gagah. Sepertinya, dia belum sempat mengganti pakaian sebelum makan atau memang kebiasaannya, entahlah.

Suasana hening menyisakan dentingan sendok yang saling beradu dengan piring. Sekitar 15 menit kemudian, semua telah selesai makan.

Ning Mila dan Ning Sabrina bergegas membereskan bekas makan tadi. Sementara Khadijah diminta untuk membantu Umi Sakinah menghidangkan beberapa puding dan kue ke ruang tengah, dimana semua orang berkumpul untuk bercengkrama setelah selesai makan.

"Bah, kenapa jadinya seperti ini?" Terdengar suara nyaring Gus Hakeem saat memprotes sesuatu.

"Kapan kau akan bertindak, Sad?" Gus Hakeem kembali bertanya pada lawan bicaranya yang lain.

Khadijah masih menunduk mengikuti Umi Sakinah untuk menghidangkan makanan. Tanpa berani mendongak ataupun mendengarkan lebih jauh. Tapi sayangnya, semuanya begitu jelas di dengar.

"Nanti, tunggu tanggal mainnya,Gus." Gus Asad menekan kata Gus, karena sedikit geram dengan kakaknya itu.

"Ck, sampai kapan? Sampai warga menggerebek, kau??" Gus Hakeem tambah gereget mendengar jawaban Gus Asad.

"Ck, sekarang menyuruh cepat, giliran tersaingi tak terima," gerutu Gus Serkan yang jengah dengan kakak sulungnya itu.

"Kau lagi, giliran akan hadir jika dia sudah terlaksana, walaupun kau sudah ada yang pas, lalu dia belum di ikat, maka kau akan tetap harus menunggunya." Gus Hakeem tambah tak karuan melihat dua adiknya yang bandel itu.

Sementara Khadijah masih setia duduk di samping Umi Sakinah. Karena baru saja akan beranjak, Umi Sakinah menahannya dan meminta untuk di pijat kakinya.

"Sudahlah, Keem. Jangan terlalu memaksa, nanti juga dia bergerak sendiri." Umi Sakinah bersuara setelah lama menyaksikan perdebatan anak-anaknya membahas tentang jodoh.

"Memangnya, kapan kau akan mendatanginya, Nak?" Abah Zaid mulai meluruskan masalah, tapi sepertinya Abah Zaid akan sedikit berpihak pada putra sulungnya.

"Nanti, Bah, setelah penyelidikan selesai dan hati ini mantap. Lagipula, Asad masih memohon petunjuk Sang Kuasa." jawab Gus Asad dengan santainya.

"Khadijah merasa tak asing dengan suara itu. Dan apa tadi, Asad? Sebenarnya, siapa Gus Asad diantara mereka?

"Mbak, sudah. Mbak boleh kembali, ingat mbak, jangan begadang," ucap Umi Sakinah saat Khadijah ingin mendongak menatap siapa Gus Asad diantara mereka.

Khadijah menatap Umi Sakinah kemudian mengangguk. Khadijah mengurungkan niatnya untuk mencari tau siapa Gus Asad diantara dua pemuda di depan sana. Sungguh, Khadijah sangat Penasaran dengan yang namanya Gus Asad.

Khadijah berlalu ke kamar Ning Mila. Meninggalkan mereka yang masih bercengkrama ria di ruang keluarga.

Selama berjalan, pikiran Khadijah berkelana kemana-mana. Hingga tanpa sengaja, kakinya tersandung lemari kecil di dekat pintu kamar. Khadijah mengaduh kesakitan, tapi sebelumnya, Khadijah melihat kesana-kemari takut ada yang melihat dirinya yang tengah melamun.

Tak ingin pikirannya berkelana lebih jauh lagi, akhirnya Khadijah masuk ke dalam kamar.

*****

Tabarrukan (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang