Sesenta y uno ♐

295 53 8
                                    

"Seperti halnya winter solstice yang dibalut dingin dan gelap, akan ada masa di mana summer solstice yang hangat dan terang juga mengelilingiku."

ʕ•ﻌ•ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ•ﻌ•ʔ

Sagi mengendap-endap, kepalanya melongok sedikit dari pintu toilet. Kaus polos, kardigan abu longgar, serta celana kain gelap sudah berganti dengan seragam berlogo SMA Andromeda. Dasi terpasang. Jas almamater membalut kemeja putih yang sudah lama tidak melekat di tubuh. Setelah meyakinkan diri, kaki jenjangnya melangkah pelan. Tas punggung yang semula digeletakkan di lantai disahut. Di dalam sana, pakaian yang tadinya dikenakan dijejalkan begitu saja, membuat tas mengembung seketika.

Sekarang masih pukul enam tepat. Hanya satu-dua orang yang melintas di koridor panjang kelas-kelas yang sepi. Parkiran juga belum terlalu ramai. Napasnya dibuang. Sebuah senyum simpul dipasang. Sambil tetap meyakinkan diri bahwa semua bakal baik-baik saja, dia mengambil langkah menyusuri tangga yang membawanya menuju deretan kelas sebelas IPS.

Ini adalah momen mendebarkan. Setelah sekian lama tidak menginjak tempat yang membawa banyak kenangan, hari ini, detik ini, dia akhirnya bisa hadir lagi. Walau dia melakukan ini secara diam-diam tanpa sepengetahuan Kinara, dia tetap merasa senang. Ini adalah udara yang paling ingin dia hirup setelah ditimpa kepedihan bertubi-tubi yang membuat rongga dadanya berjejal-jejal dengan berbagai persoalan.

"Welcome back, Gi." Sagi bergumam sendiri kala kakinya sampai di anak tangga terakhir. Ada seberkas bening yang tak terlalu kentara di lapisan matanya. Bening itu menggumpal, tetapi dia buru-buru menyunggingkan senyum lebih lebar. Tak mau merusak rencananya sendiri yang telah disiapkan sejak lama. Hari ini dia perlu banyak bersenang-senang.

Kakinya kembali ditarik menuju kelas. Tepat ketika sampai di belokan, tubuhnya segera terhuyung ke belakang akibat kemunculan seseorang secara tiba-tiba. Nyaris saja jatuh bila tak segera berpegangan.

"Allahu akbar!"

Sagi memegang dadanya dengan ekspresi terkejut yang berlebihan. Pekikannya membuat orang di depannya buru-buru menjumput lagi sapu dan tempat sampah yang hendak dibawa ke bawah sambil menggerutu. Namun, begitu tahu kalau Sagi yang berdiri di sana, gerutuan itu langsung surut.

"Lho, Sagi?" Telunjuk Vina otomatis teracung. Riak di muka seperti keheranan, terkejut, atau entahlah. Yang jelas, ekspresinya campur aduk. Sempat tak menyangka juga, kalau boleh jujur. "Kamu udah boleh masuk?" imbuhnya. Kepalanya menoleh ke kanan-kiri secara refleks.

Sagi menggaruk alis, tersenyum aneh, lalu meletakkan telunjuk di bibir. "Jangan bilang-bilang Bunda, ya," katanya. Ada nada memohon yang terselip, meski yang didengar Vina malah lebih seperti mengajaknya berbohong.

"Kenapa nggak boleh?" Vina memandang curiga. Matanya disipitkan. Jangan-jangan, Sagi sedang kabur atau semacamnya. Tapi yang benar saja.

"Udah, manut aja. Ya?" pinta Sagi. Sebetulnya dia cuma ingin cepat-cepat mengakhiri obrolan ini supaya gadis yang punya senyum manis itu berhenti bertanya, lalu dia bisa duduk dengan tenang di bangkunya.

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang