Treinta y cuatro ♐

329 56 10
                                    

'Bila bersembunyi adalah satu-satunya jalan yang bisa kutempuh, maka hilang adalah pilihan terbaik.'

ʕ•ﻌ•ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ•ﻌ•ʔ

'Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan'

Sagi membaca salah satu judul artikel yang tertempel di papan mading. Dia melirik foto di ponsel sebentar, lalu memerhatikan kembali artikel lawas yang ditulis tahun lalu tersebut. Telunjuknya bergerak pada permukaan kaca—yang melapisi belasan kertas yang dibentuk sekreatif mungkin dengan kertas warna-warni—mengikuti panjang kalimat yang dia baca sambil komat-kamit. Tetap saja, setelah berkutat selama lima menit, dia tidak menemukan apa pun. Belum, mungkin. Atau tidak, lebih tepatnya.

Lagipula, Sagi masih tidak mengerti maksud si pengirim mengirimkan foto-foto itu padanya.

Menyerah, Sagi mengedarkan pandangan ke sekitar. Murid-murid SMA Andromeda berlalu-lalang dengan muka malas-malasan, terutama kelas sebelas. Masa bersenang-senang telah usai. Hari ini aktivitas belajar-mengajar akan berjalan seperti biasa sehabis merayakan ulang tahun SMA Andromeda selama beberapa hari (acara puncaknya adalah kegiatan camp). Sungguh menjemukan.

Sagi memutuskan menyudahi agenda penasarannya hari ini. Foto mading yang dia terima tempo hari sama saja, tidak membuahkan hasil. Setidaknya, dia sudah berusaha, bukan? Walau belum mendapat hasil yang diinginkan, apalagi memuaskan. Satu-satunya yang bisa dia tuntaskan terlebih dulu adalah maksud kata-kata dalam scytale. Oh ... dan buku milik Bara yang tampak mencurigakan.

Sambil melangkah menuju kelas, dia mencari sesuatu pada peramban ponsel. Tiba-tiba kernyitan di dahi muncul. Langkahnya terhenti sejenak.

"Dibunuh?"

ʕ•ﻌ•ʔ

Sagi buru-buru berlari menuju perpustakaan. Ada dua buah buku yang didekap di pelukannya. Satu buku matematika yang diambil secara asal, satunya lagi buku milik Bara yang dia temukan di rumah sakit waktu itu. Kurang dari sepuluh menit waktu istirahat akan habis. Bila tidak cepat, dia takut tidak memiliki kesempatan untuk memecahkan kode-kode itu, sebab dia tidak pernah tahu kapan orang yang berada di balik semua ini akan bertindak lebih jauh lagi.

Sagi menyempatkan menyapa Mas Chan yang berjaga di sana. Lelaki muda yang tampak selalu ramah itu sempat mengingatkan agar Sagi berjalan tanpa tergesa saat menaiki anak tangga. Lantainya masih agak basah sehabis dipel.

"Bagus, mumpung lagi sepi." Sagi tersenyum semringah. Tujuan utamanya adalah tempat duduk pojok dekat jendela. Ada dua buah kursi serta satu meja bundar berukuran kecil, tapi tidak terlalu kecil. Dia meletakkan dua buku itu di sana, lalu duduk senyaman mungkin.

Sebuah note dikeluarkan dari saku almamater. Pulpen yang dia ambil dari buku Tezza sudah siap di genggaman. Detik berikutnya, dia sudah berkutat dengan buku-buku itu. Dahinya terlipat. Air mukanya serius. Sesekali ia melirik jam di tangan. Waktunya sudah berkurang empat menit. Ini bukan berita bagus. Dia harus bergegas sebelum bel masuk berdering.

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang