Diecisiete ♐

579 89 23
                                    

‘Tiada yang lebih bernilai daripada menyatukan kembali ikatan yang hampir usai.’

ʕ•ﻌ•ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ•ﻌ•ʔ

Sagi men-dribble bola basket yang dia pinjam dari ruang olahraga dengan intensitas sedang. Sudah sejak lima belas menit yang lalu dia menghabiskan waktu di sini—dia malas ke kantin saat istirahat kedua. Kemeja seragamnya dilepas. Menyisakan dalaman kaus putih polos longgar tanpa lengan dengan keringat menghiasi punggung serta pelipis.

Bola berhasil masuk ke ring beberapa kali sebelum dia memutuskan untuk istirahat sebentar, meneguk minuman isotoniknya yang berada di bibir lapangan. Setelahnya, ia kembali ke tengah, membaringkan tubuhnya yang masih ngos-ngosan di lantai lapangan yang begitu dingin. Matanya memejam.

“Ketemu juga.” Suara seseorang menggema di seluruh ruangan.

Sagi kembali membuka mata, agak menaikkan kepala guna menilik orang yang berjalan ke arahnya. Melihat siapa yang datang, sontak saja ia menegakkan punggung.

Regar segera mengambil tempat di sebelah Sagi. Bibirnya tersungging tipis. Entah apa maksud senyuman itu, Sagi tidak mengerti.

“Ada apa?” tanya Sagi. Nada bicaranya agak canggung.

Regar menyerahkan sekaleng minuman dingin, lalu duduk menghadap depan. Memandangi tribune lapangan yang kosong. “Cuma pengin ketemu lo,” balasnya.

“Udah nggak marah lagi?” Kekehan kecil lolos dari mulut Sagi. Dia membuka minuman pemberian Regar. “Letta udah jelasin semuanya?”

Regar mengalihkan pandangan sekilas, mengangguk pada Sagi yang tengah meneguk minuman. “Ya, gue udah dengar semuanya.” Tatapannya turun, memerhatikan minumannya sendiri yang berada di genggaman. “Sori, Gi. Gue udah gegabah ngambil tindakan. Nggak seharusnya gue mukul lo.”

Sagi mendengus pelan. Tiba-tiba dia berdiri sambil memungut bolanya. “Mau banyak-banyakan skor masukin bola ke ring?” tawarnya.

Regar tampak tidak mengerti, tetapi kepalanya tetap dianggukan, “Boleh.” Dia segera berdiri untuk memenuhi tawaran yang diajukan sahabatnya tersebut.

Mereka memasukan bola ke ring secara bergantian selama sepuluh menit. Baik Sagi maupun Regar, keduanya memiliki skor imbang. Sagi makin gencar mencoba berulang kali, begitu pula Regar yang berusaha merebut bola tersebut dari tangan Sagi.

Keringat sudah membasahi tubuh masing-masing, tetapi keduanya belum mau berhenti. Sampai akhirnya Sagi yang terlebih dulu berhenti, lalu menjatuhkan diri di tengah lapangan. Napasnya berderu cepat.

Tak lama, Regar juga melakukan hal yang sama. Dia membaringkan tubuhnya di samping Sagi. Membiarkan bola basket yang mereka gunakan menggelinding hingga ke tepian. Melupakan berapa skor yang seharusnya menjadi perbandingan bagi keduanya.

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang