Veintiuno ♐

513 87 18
                                    

Ada yang pekat, tetapi bukan gelapnya malam. Ada yang hangat, tetapi bukan rengkuhan sang rembulan.

ʕ•ﻌ•ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ•ﻌ•ʔ

“Aku bisa ambil tanggung jawab itu.”

“Aku yang nggak bisa.”

“Kenapa?”

“Kamu terlalu berharga buat aku, Gi.”

“Ryu, dengerin aku—”

“Gi, lupain aku, ya? Aku mohon.”

“Tapi, Ryu—”

Sagi agak tersentak ketika kepalanya hampir terantuk di meja. Matanya segera terbuka lebar, mengamati ruangan fotografi yang telah kosong dengan bangku-bangku agak berantakan sehabis digunakan diskusi. Beberapa lembar foto yang telah dicetak turut menghiasi meja yang kini ditempati. Ada dua gelas cup kosong sisa jus yang seingatnya dibelikan oleh Bara sebelum ekskul dimulai.

Berusaha menyadarkan diri, Sagi mengerjapkan mata sambil menggoyangkan kepalanya pelan. Mencoba mengenyahkan sisa mimpi buruknya yang masih terngiang samar-samar.

“Ryu ....” ujarnya dengan nada pelan. Ia ingat telah menyebutkan nama yang sama dalam mimpi yang baru saja dialaminya.

Tidak salah lagi. Sepertinya memang benar bila gadis bernama Ryu itu memiliki keterlibatan dengannya sebelum ini. Dalam sebuah hubungan di mana suatu percakapan berjalan dengan intim sambil melibatkan rasa yang lekat dan rekat.

Pening di kepala Sagi mulai merambat. Seperti ada sebuah benda dengan beban berat yang sengaja dihempaskan padanya. Yang membuat lembaran pada memori usangnya bertebaran di udara. Melayang-layang tak tentu arah. Hilang terbawa angin.

Sagi menyatukan ibu jari beserta telunjuk, membuat gerakan memijit pada pangkal hidung, lalu berpindah pada pelipisnya yang agak berkeringat. Ingatan yang timbul samar-samar tidak berhasil membuatnya mengingat apa pun tentang Ryu selain percakapan dalam mimpinya tadi. Itu pun tidak membuatnya lantas terbantu dan mengerti.

Memorinya telah berkarat. Rusak. Seperti sebuah pita kaset yang kusut dan tidak bisa diperbaiki lagi.

“Udah bangun?”

Sagi memutar kepalanya ke arah pintu yang menampilkan seorang cewek di sana dengan senyuman teramat lebar. Seragam sekolah masih melekat lengkap pada tubuh rampingnya. Berbeda dengan Sagi yang telah menanggalkan jas almamater khas Andromeda pada sandaran kursi.

Meika yang sepertinya baru selesai dari toilet segera menghampiri Sagi. Duduk di sebelah cowok tersebut setelah merapikan rambutnya dengan gerakan yang dibuat anggun.

“Udah selesai dari tadi, ya?” Sagi mengedarkan pandangannya sekali lagi ke arah papan tulis yang penuh dengan coretan spidol pak Robert tentang berbagai jenis komposisi foto.

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang