Setenta y uno ♐

227 27 15
                                    

'Karena pada dasarnya, manusia selalu hidup berdampingan dengan segala kemungkinan buruk. Sementara melarikan diri cuma berlaku bagi tiap-tiap mereka yang pengecut.'

ʕ·ᴥ·ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ·ᴥ·ʔ

Raina marah besar.

Tepat seperti perkiraan Sagi dan Bara sebelumnya. Cewek itu mengamuk dan menangis tanpa bisa mengontrol usahanya untuk memukul lengan mereka secara bergantian usai mendengar semua penjelasan Sagi.

"Lo jahat banget sama gue, Gi!" berang Raina. Air menetes satu per satu dari pelupuk. Matanya berubah merah dan berkaca-kaca. Suaranya bergetar.

Sagi cuma bisa memandangi Raina nanar. Cewek itu berusaha menyeka pipi di sela isak yang membuat bahunya berguncang-guncang. Bara mencoba duduk berlutut di samping Raina, mengusap-usap lembut punggung yang melengkung putus asa itu dengan penuh pengertian. Baru setelah itu, tangis Raina berangsur reda.

Sagi tahu, Raina sangat dekat dengan Ryu sebelum mengenal dirinya. Dia juga tahu bahwa sudah semestinya Raina tahu segala hal yang terjadi pada Ryu. Dan keputusannya dengan Bara untuk membiarkan cewek itu seperti orang tersesat merupakan kesalahan besar—mereka juga tahu itu. Jadi, dia membiarkan Raina meluapkan emosi selama hampir setengah jam sebelum sahabat dekatnya tersebut memutuskan pulang sendiri tanpa bicara apa-apa lagi.

Sagi menyendok sereal di mangkuk tanpa selera. Pagi-pagi begini pikirannya sudah teramat penuh. Semalam tidurnya tidak bisa nyenyak. Dia buru-buru menggeleng, berusaha mengenyahkan bayangan soal Raina kemarin. Lambat laun cewek itu pasti akan mengerti. Bara pun pasti juga akan berusaha membujuk.

Sagi merogoh ponsel dari saku celana, memeriksa beberapa pesan masuk. Tidak ada yang khusus. Hanya ada pesan baru dari obrolan grup yang jarang dia buka kalau tidak penting. Selebihnya, dia tidak mengharapkan apa pun.

Kecewa segera mengurapi air muka Sagi yang memang sudah kusut sejak tadi. Letta masih belum merespons pesan-pesannya lagi. Sebenarnya apa, sih, yang sedang terjadi? Mengapa Letta juga ikut mendiamkan dirinya seperti ini?

"Nanti sore kamu ikut?"

Suara Kinara berhasil membuat Sagi mendongak dan menyimpan kembali ponselnya. Wanita itu masih menyuapkan sarapan yang tinggal sedikit. Dipandang wajah Sagi sekilas sebelum meneguk air di gelas dengan gerakan pelan.

Pertanyaan barusan membuat niatan Sagi untuk menyelesaikan sarapan jadi sirna. Dia kembali meletakkan sendok. Tiba-tiba dia bisa merasakan keringat dingin merembes di telapak tangannya.

"Kayaknya nggak bisa, deh, Bun. Sagi ada ekskul panahan," ujar Sagi. Andai Kinara tahu bahwa Sagi sudah tidak mengikuti ekstrakurikuler tersebut.

"Panahan?" Raut Kinara mengerut, agak menyelidik. "Tapi kata Rain, kamu nggak ada jadwal apa-apa sore ini. Padahal Bunda udah sengaja pilih hari yang tepat supaya kamu bisa ikut. Masa nggak bisa lagi, sih?"

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang