Doce ♐

814 109 37
                                    

‘Hanya ada dua kemungkinan. Jatuh pada rasamu, dan cinta pada hatimu. Kuputuskan untuk memilih keduanya.’

ʕ•ﻌ•ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ•ﻌ•ʔ

Sepertinya, mulai detik ini dan seterusnya, Sagi harus terbiasa bila tanpa aba-aba menemukan dirinya sendiri membuka mata di tempat beraroma basah, juga bernuansa liar. Pun telinga yang selalu disuguhi bunyi-bunyian alam yang perlu Sagi akui bisa memberi efek paling menenangkan selain lullaby yang biasa didendangkan Kinara menjelang tidur ketika ia kecil. Dan Sagi sudah cukup meyakini bahwa dirinya telah mengamini apa yang baru saja menjadi pemikirannya tersebut.

Sagi telah duduk di depan sebuah unggun yang apinya makin mengecil. Pada tubuhnya terdapat selimut yang ia tebak terbuat dari kulit hewan berbadan besar serta berbulu tebal, begitu pula yang menjadi alasnya. Hangat.

Ia mengedarkan pandang pada gadis yang duduk di bawah wisteria, yang pohonnya paling rendah, dengan kedua tangan sibuk merangkai berbagai macam bunga dalam ikatan kecil namun manis. Bibir Sagi tersungging samar.

Selama beberapa menit lamanya, yang dia lakukan hanya duduk sembari mengagumi sosok cantik nan anggun yang kala-kala menarik sudut bibir saat didapati seekor kelinci bergelung manja di kaki tanpa alasnya. Ia seperti teringat pada seseorang, tetapi tidak bisa menafsirkan bagaimana rupanya. Hanya saja, senyuman itu begitu akrab selayaknya pernah melihat sebelum ini.

Apa sejujurnya mereka pernah dipertemukan pada suatu masa yang tidak bisa Sagi ingat? Entahlah. Ingatannya buram. Seburam raut muka Galen ketika tidak mendapat jatah uang saku dari mamanya.

Sagi menyingkap selimut ramah lingkungan itu ke samping, hendak menghampiri Ziel setelah puas memandanginya diam-diam dalam balutan kabut pagi yang terlihat samar-samar. Tangannya tak sengaja menyenggol gerombolan bunga petunia yang dilapisi embun hingga membuat beberapa dari mereka terjun ke tanah. Ia memungut yang berwarna putih.

“H-hai, Ziel,” sapa Sagi kaku. Senyumnya mengembang malu-malu. Lambaian rendahnya begitu canggung.

Sagi memajukan kaki lebih dekat. Menyimpan bunga petunia dalam genggaman dengan perasaan menghangat.

Seberapa tidak masuk akalnya tempat ini, setidaknya dia ingin berusaha memercayai keberadaan gadis dengan senyuman manis tersebut. Sebab getaran pada hatinya tidak mungkin bisa dibohongi. Dia telah jatuh untuk Ziel, si gadis hutan itu, dalam tempo sesingkat-singkatnya dan sebenar-benarnya.

“Hai, Sagi. Selamat pagi.” Ziel membalas dengan riang. Dia turut berdiri setelah menyelesaikan rangkaian bunga terakhir, lalu mengambil beberapa utas akar pohon sebelum duduk kembali. “Bagaimana tidurmu?” tanyanya.

“Ya, gitu deh,” balas Sagi sekenanya. Dia saja tidak tahu kapan tepatnya ia berada di sini lagi. Yang jelas, ia tengah mengenakan kaus putih polos serta celana kain longgar yang ia gunakan tidur sepulangnya Raina main ke rumah.

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang