Cuarenta y cinco ♐

311 63 34
                                    

“Ada kalanya ketika aku tak bisa mengenali diriku lagi. Di saat seperti ini, pulang adalah pilihan terbaik.”

ʕ•ﻌ•ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ•ﻌ•ʔ

Sudah lewat pukul dua belas. Sagi menyeret kakinya menuju pintu. Baju yang dia kenakan lembap, habis terguyur hujan saat perjalanan pulang. Lelah menyiram hampir separuh lebih tubuhnya. Pintu terbuka. Kinara menyembul dari balik pintu dengan raut panik yang berlebihan.

“Astaga, kamu basah kuyup, Sayang. Kamu nggak neduh? Kamu, ‘kan, nggak kuat dingin. Gimana kalau sakit?” Bahkan suara khawatir wanita itu masih terhalang rintik hujan yang mengguyur samar-samar.

Sagi hanya tersenyum tipis. “Udah, kok. Tapi kalau nunggu sampai reda bakal kelamaan, Bun,” katanya. “Sagi nggak mau bikin Bunda begadang buat nunggu Sagi pulang.”

Sudah lewat tengah malam. Kinara bergegas membawa Sagi masuk. Kakinya bergerak cepat menuju dapur. Tangannya terampil menyiapkan air jahe hangat untuk Sagi yang kini agak menggigil.

Sagi sudah naik ke kamar. Berganti baju dengan cepat sebelum bergelut dengan buku latihan soal yang begitu tebal. Tangannya bergerak selaras dengan gumaman kecil yang lolos dari bibir, menjawab pertanyaan-pertanyaan tanpa butuh waktu lama. Dua jam ke depan, dia harus bisa menyelesaikan setidaknya 200 soal matematika yang tidak begitu dia suka.

“Kamu harus istirahat, Sayang. Kenapa malah belajar lagi?” Suara Kinara membuat Sagi menoleh dengan seulas senyum lelahnya. Wanita itu mendekat sambil membawa secangkir air jahe hangat, menaruhnya di meja belajar Sagi.

“Tidur. Bunda nggak mau lihat kamu begadang sampai pagi terus,” tegas Kinara. “Kamu setiap hari sudah banyak belajar, Sayang. Kamu baru pulang kerja, kehujanan, capek. Harusnya istirahat, bukan malah kerjain soal-soal.” Dia mengambil paksa buku tebal Sagi, tetapi cowok itu berhasil mengambil kembali tanpa banyak usaha.

“Habis ini, Bun. Cuma sebentar, kok.” Setelah itu dia kembali fokus memecahkan soal-soal tanpa memedulikan tatapan prihatin Kinara yang masih berdiri di sampingnya.

“Harus banget kamu ngelakuin ini?” Ada sirat kecewa yang terpancar dari nada bicara Kinara.

“Pokoknya Bunda nggak mau tau. Kamu harus tidur sekarang. Istirahat, atau buku ini Bunda bakar.” Kinara kembali merampas buku-buku Sagi, membawa keluar sebelum cowok itu sempat mengucapkan sesuatu. Suara debum terdengar ketika pintu kamar tertutup keras.

Sagi memandangi pintu itu dengan tatapan sendu. Sekarang tak ada hal yang membuatnya sibuk sebelum tidur. Itu artinya, tak ada sesuatu yang akan menghalau hal-hal menyakitkan yang pernah dia alami. Bola matanya meliar, bergerak-gerak mencari sesuatu. Namun, tak ada hal yang benar-benar bisa membuat perhatiannya tersita dalam jumlah besar selain membuat otaknya berpikir keras seperti ketika tengah mengerjakan soal-soal tadi.

Dalam sekejap, gelisah berhasil mencabik isi pikirannya. Sesak menyergap hampir keseluruhan pasokan oksigen di paru-paru. Kenangan-kenangan menyakitkan itu kembali menampakkan wajah, memutar setiap detail tanpa terlewat sedikit pun. Potongan kilas balik tentang Ryu, tentang kehidupannya ketika SMP, kecelakaan, orang-orang di sekelilingnya yang pernah terluka karena dirinya, Ziel, Arges, sampai tubuh Bara yang tergeletak dengan genangan darah. Semuanya terekspos, berputar cepat tanpa jeda di kepala Sagi.

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang