Uno ♐

6K 410 97
                                    

Happy reading!
Semoga suka 💜

ʕ•ﻌ•ʔ

‘Kehilangan paling pedih adalah melalaikan segenap kenang yang seharusnya terpintal dalam memoar, yang menetap, yang tak lenyap. Seharusnya, hanya seharusnya.’

ʕ•ﻌ•ʔ

“Gantengnya gue. Udah cocok jadi imam rumah tangga, nih.”

Sagi sedang bergumam sendiri di depan kaca spion motor milik kakak kelas setelah sibuk merapikan tatanan rambutnya yang sempat terkena angin. Kekehan kecil segera lolos dari mulutnya.

Hari ini dia sudah masuk sekolah, menggunakan sepeda kesayangannya sambil menyapa ibu-ibu penjual sayur di sekitar kompleks seperti biasa. Meski perban masih melilit tangan dan sebagian punggung, pun lapisan kasa yang menempel di dahi, Sagi sudah cukup baik-baik saja untuk menghabiskan stok bakso milik Bu Gembul.

Setidaknya itu menurut Sagi.

Selesai urusan rambut, Sagi lantas memeriksa jam tangan sebelum kaki-kaki jenjangnya beranjak menuju kelas. Ya, seharusnya itu yang ia lakukan sejak sedetik yang lalu. Bukannya celingukan ke sana kemari seperti orang habis kena gendam.

Ia bahkan berbalik sebentar untuk menyusuri parkiran yang cukup ramai tersebut. Kembali ke tempat sepedanya terparkir guna memastikan sesuatu. Barangkali ada yang tertinggal. Otak dan kewarasannya, misal.

Tetapi nihil.

Sagi tidak menemukan apa pun, kecuali uang koin seribu yang ia pungut dari sana setelah meyakinkan dirinya sendiri dengan alasan, “Lumayan buat nyicil uang kas,” lalu pergi begitu saja.

“Apa ya, yang ketinggalan?” ujarnya, sementara kakinya berjalan dengan tempo lambat. Kepalanya digaruk pelan karena kebanyakan kutu. Bukan. Maksudnya, karena kebingungan.

Seperti ada ruang kosong yang seharusnya terisi. Tapi tidak bisa menerka perihal apakah itu. Sagi yang masih polos ini jadi bingung harus bagaimana. Ia tidak ingin repot-repot menggunakan akalnya kalau untuk berpikir saja kepalanya sudah cenat-cenut–tapi bukan cinta.

“Kuacinya, Om.”

Sagi yang setengah melamun langsung mengelus dada. Agak terkejut dengan kehadiran cowok yang tiba-tiba berada di sisi kanannya sambil berbicara tepat di telinga.

“Ngagetin aja sih, Jomlo!” pekiknya.

“Lagian dari tadi diam aja. Nyari apaan, sih?” Cowok dengan tanda nama Bara itu mengikuti arah pandang Sagi, menyisir segala sudut dengan penasaran.

“Lagi nyari Ryu, ya?” tanya Bara yang minta diplester mulutnya.

“Ha? Siapa?”

Menyadari sedang kelepasan bicara, Bara segera membungkam mulutnya, “Eh, bukan, bukan. M-maksud gue um ... i-itu ....” Ia tidak bisa melanjutkan kalimatnya.

“Ngomong apa, sih? Yang jelas, dong.”
Positive thinking aja. Mungkin Sagi budek.

“Maksud gue, ada barang lo yang ketinggalan, nggak?” kelit Bara.

Sagi terdiam sejenak, menyadari perubahan ekspresi wajah kawan satu klubnya tersebut. Merasa ada yang terlewatkan selama dirinya tidak bisa masuk sekolah. Entah apa itu, ia juga tidak tahu.

Napas Sagi dihela, kepalanya menggeleng lemah. “Nggak, kok.” Bibirnya disunggingkan lumayan lebar, “Gue ke kelas dulu, ya,” seraya menepuk singkat pundak Bara. Tidak berniat memberi waktu cowok tersebut untuk bertanya lebih.

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang