Cuarenta y siete ♐

323 58 18
                                    

'Aku hanya perlu sedikit menutup mata untuk menyadari bahwa aku telah sepenuhnya kehilangan arah.'

ʕ•ﻌ•ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ•ﻌ•ʔ

Sagi menutup buku tugas terakhirnya. Jam di meja belajar menunjukkan pukul sepuluh lewat. Menyandarkan tubuh di kursi belajar, atensinya tertuju pada dua buah buku antologi puisi yang membuat ingatannya kembali. Sigap dia menarik salah satunya, membuka secara acak lembar-lembar yang terlihat kekuningan tersebut akibat dimakan usia. Satu dua bait puisi dibaca setengah bergumam di bawah lampu penerangan yang dibiarkan redup.

Ponsel di meja bergetar satu kali. Ada pesan masuk. Sagi meraihnya tanpa mengalihkan pandangan dari buku di pangkuannya.

Sagi, ini nomor Om Andra. Simpan, ya.

Membaca pesan dari orang tak terduga membuat Sagi menegakkan punggung antusias. Dia memilih cepat-cepat merespons. Usai membalas, selang beberapa detik sebuah pesan baru muncul.

Kalau kamu ada waktu luang, bisa kita ketemu sebentar?

Sagi diam sesaat. Ingatan tempo hari ketika Andra sempat mengantarnya pulang beserta sikap Kinara membuat dia masih menyimpan rasa sungkan dan tak enak bila bertemu Vina maupun Andra sendiri. Meski jujur saja, dia belum bertemu Andra lagi sejak hari itu.

Bisa, Om. Habis pulang sekolah saya ada waktu, kok.

Tanpa sadar napas Sagi dihela panjang. Dia tidak tahu kenapa. Hanya saja bisa bercakap dengan Andra membuatnya merasa nyaman meski hanya sebatas pesan teks singkat seperti ini. Baru-baru ini dia bahkan menyadari bahwa mereka menjadi lebih akrab dari kelihatannya.

Makasih banyak ya, Gi. Maaf nih, Om minta nomor kamu dari Vina.

Sudut bibir Sagi saling terangkat. Selesai membalas, dia kembali fokus pada lembar buku yang masih terbuka. Namun, pesan lain datang tanpa diundang. Kali ini dari kakak kelasnya, Sergio. Alis Sagi agak bertaut. Tumben sekali.

Bang Gio

| Gi, lagi free nggak?
| Ada job nih. Bisa bantuin gue buat pemotretan?
| Tenang aja, lo juga bakal dapat komisi, kok.

Alis Sagi terangkat sebelah, lalu wajahnya berubah cerah. Jemarinya bergerak lebih cepat dari yang seharusnya. Sebuah balasan terkirim.
Sagi tentu saja menyetujui. Kebetulan besok jadwal kelas seni rupa kosong. Kalau tidak ada kegiatan dia sudah berencana untuk mengambil jam kerja paruh waktu.

Bang Gio

| Nah, sip. Nanti gue kabarin lagi buat lokasinya.
| Thanks, ya.
| Lama banget nggak nge-job sama lo.
| Bara gimana? Udah ada perkembangan?

Senyuman Sagi perlahan luntur ketika membaca kalimat terakhir dari pesan Sergio. Keadaan sahabatnya masih sama saja. Rasanya hampir membuatnya frustrasi karena dia terlalu mempercayai kata-kata Arges bahwa Bara akan baik-baik saja. Kalimat pria pegasus itu sudah menjadi acuan berharga bagi dirinya. Tapi ternyata memang tak sesederhana itu. Bisa bertahan hidup hingga detik ini memang patut disyukuri, tapi kalau tidak ada perkembangan apa pun-bahkan Sagi tak lagi banyak berharap kalau Bara akan mampu membuka mata kembali-hatinya belum merasa tenang.

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang