Cincuenta y cuatro ♐

356 61 23
                                    

Warning!

Part ini mengandung self harm dan konten suicide. Bagi kalian yang sekiranya sensitif sama hal-hal kayak gini bisa di-skip, ya.

————

‘Pada akhirnya, kembali pulang adalah pilihan yang seharusnya didekap sejak awal.’

ʕ•ﻌ•ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ•ﻌ•ʔ

Sagi mengurungkan niat pulang ke rumah. Kakinya terus menapak tak tentu arah, mengikuti sepanjang trotoar yang lampunya remang-remang. Sepeda masih setia berada di sampingnya. Bising kendaraan bersahut-sahutan mengisi telinga. Pada genggaman telapak tangan terdapat foto dirinya dan Andra yang sudah lecek. Ia berniat membuang benda tersebut, tetapi setelah merenung lama, dia memilih memungut kembali potret satu-satunya yang tak bisa didapatkan di mana pun.

Dia tak tahu harus bagaimana setelah ini. Hidupnya seperti area bermain yang membuat orang-orang jatuh satu per satu pada sebuah lubang mematikan. Lucu sekaligus menyedihkan. Lalu, bila ia memutuskan menghilang akankah semuanya berjalan baik? Meski tahu bahwa hal yang telah terjadi tak bisa terulang kembali. Mengapa dia seolah tak diberi jeda untuk menyembuhkan lara-lara. Luka yang didapatkan dari Ryu dan Ziel pun belum sepenuhnya reda. Kini ditambah lagi dengan yang baru. Yang nyerinya jauh lebih membuatnya kebingungan.

Sagi merogoh ponsel setelah melonggarkan dadanya yang sesak. Satu per satu nomor teman-teman yang ada di daftar kontak dihubungi. Entah mengapa, dia mendadak ingin memastikan bahwa mereka masih bersedia berdiri di sampingnya, memberi tahu bila semua bakal berjalan baik. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Dia ingin mendengar itu, walau cuma dua-tiga kata saja, bahkan jika itu keluar dari mulut Romeo sekalipun.

Sayangnya, belum ada balasan setelah lama menunggu. Mungkin mereka sudah terlelap atau tengah sibuk mengerjakan sesuatu. Entahlah. Dalam keadaan begini, isi kepala Sagi langsung diserang prasangka-prasangka buruk. Dia langsung menyimpulkan hal secara pendek. Dadanya kosong melompong. Dia merasa sendiri.

Sori, nih. Gue lagi nggak bisa.

Emang mau ngapain, sih? Besok aja, deh. Ah, lo ganggu gue tidur.

Gabut lo, Gi? Kemarin-kemarin diajak nongkrong nggak mau.

Sagi membuang napas berat. Tiga pesan berturut-turut dari Regar, Romeo, dan Galen membuat dia tak mengharapkan banyak hal. Dia merasa bersalah karena telah mengganggu waktu nyaman mereka.

Jemari Sagi bergerak ragu ketika sebuah nama terlintas di kepala. Berharapnya, kali ini orang itu bisa datang memberi tepukan singkat di bahu untuk sekadar menguatkan. Sungguh, dia tidak sedang mengharapkan banyak hal. Dia cuma ingin memastikan bahwa hidupnya masih pantas dilanjutkan. Hanya itu. Tidak lebih.

Let, bisa ketemu sebentar?

Ada yang pengin gue obrolin.

Gue tunggu di taman dekat rumah lo, ya.

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang