Séis ♐

1.2K 166 68
                                    

'Aku terjerat begitu mudah. Tentang rasa, tentang rona, tentang ruang-ruang yang fana.'

ʕ•ﻌ•ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ•ﻌ•ʔ

Sagi duduk di meja belajarnya sambil menekan ujung pulpen berkali-kali. Netranya belum berpaling dari sebuah pita panjang yang dipenuhi huruf tak beraturan, yang dia bentangkan melebihi sebuah buku paket sejarah di sebelahnya.

Belum juga paham mengenai maksud dari pesan-pesan yang dia terima, ini sudah mendapat paket yang membuat pusing kepala. Sagi bukan detektif, dia tidak butuh hal-hal seperti ini untuk memecah suatu masalah. Dia juga bukan termasuk orang yang tidak peka, jadi tidak perlu pakai kode-kode biar dia mengerti perasaan orang lain.

Sagi bisa me-notice siapa saja, di mana saja, dan kapan saja bila ia mau. Karena dia cukup tahu bagaimana rasanya menyukai seseorang yang tidak memiliki perasaan yang sama dengannya. Karena dia cukup mengerti bagaimana pedihnya diabaikan sama sekali oleh orang yang membuat kita jatuh pada perasaannya.

Cukup kepada Raina dia pernah begitu. Ia tidak ingin orang lain merasakan hal yang sama dengannya di masa lalu. Oleh karena itu pula, dia selalu-paling tidak-membalas sapaan yang ditujukan untuknya dengan akrab. Jadi, tidak ada alasan mengirim yang demikian semata-mata hanya untuk membuatnya peka atau apalah itu sebutannya.

"Ini beneran kurang kerjaan, ya, yang ngirim?" jengkelnya. Pulpen yang tadi ditekan-tekan sudah ia lempar rendah ke arah buku-bukunya yang terbuka.

Menghela napas berat, dia meraih sekali lagi beberapa lembar foto berupa potongan benda-benda pecah: kaca mobil, kaca spion, lampu bagian depan mobil, serta snow globe yang terdapat miniatur sepasang anak kecil-yang isinya berhamburan keluar. Berharap kerut di dahinya bisa sedikit berkurang.

Sayangnya, tiga puluh menit yang harusnya dia habiskan untuk menyelesaikan tugas-tugas, malah terbuang percuma sebab memandangi kotak paket yang dia dapatkan tadi pagi. Pun sejauh ini belum mengerti maksud dan tujuan kenapa harus dia yang menerima benda-benda semacam ini.

Kenapa tidak orang lain yang kurang kerjaan? Romeo, seumpamanya.

Otaknya tidak mampu mencerna apa pun. Dia sudah kepayang pusing. Jadi, pilihan terakhir adalah menjejalkan barang-barang itu kembali ke kotaknya. Menaruhnya secara sembrono di bawah meja belajar menggunakan kaki, lalu menendangnya hingga menciptakan suara 'buk' di dinding.

"Nggak ada akhlak yang ngirim. Bikin cogan puyeng aja, heran." Sagi menggerutu sambil menutup buku-buku tugasnya. Dia sudah tidak memiliki niatan untuk menyelesaikan satu soal pun. Lebih baik rebahan sambil fanboying.

Dia hendak menekan ikon merah dengan tulisan Youtube, sebelum sebuah notifikasi pesan muncul.

Ting!

Dia segera membukanya.

Bara

Gi, lo tadi bolos klub kok nggak bilang-bilang gue?
Lo sakit?
Pak Erbete nyariin njir

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang