‘Bila diperkenankan, aku ingin singgah di raga Salmoneus sejenak, agar petir Zeus bisa membuatku terbunuh.’
ʕ•ﻌ•ʔ
Makasih banyak, Kak. Hoodie-nya udah aku cuci sampai bersih, kok.
Sagi tersenyum kecil membaca sticky notes yang menempel di sebuah paper bag di meja. Kelas masih lumayan sepi. Maklum, dia berangkat agak pagi hari ini, jatah untuk piket pagi. Baru kurang dari sepuluh murid yang mengisi kelas, termasuk dirinya. Itu pun penghuninya tidak benar-benar berada di tempat. Kursi di sampingnya juga masih kosong, Tezza belum berangkat.
Keluar kelas, dia berencana menyiram bunga-bunga yang menggantung di depan kelas terlebih dulu. Namun, sedetik setelah dia melangkahkan kaki melewati pintu, suara teriakan seorang siswa menggema di seluruh SMA Andromeda. Di pagi yang lengang seperti ini, suara kecil bahkan bisa terdengar jelas. Menuju lift, dia segera menekan tombol di sana, ingin melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Kakinya berderap cepat menuju sumber suara. Jas almamater dirapatkan ketika hawa dingin membuat desis di mulut meluncur keluar. Mengetahui bahwa ruang fotografi terbuka, dia memutuskan untuk ke sana terlebih dulu. Tidak biasanya ruangan itu terbuka lebar saat belum ada banyak murid yang datang. Lagi pula, suara teriakan itu terdengar berada di dekat sana. Tapi entahlah, dia juga tidak begitu yakin, hanya menerka-nerka.
“Gi!”
Sagi menghentikan laju langkahnya, menengok ke belakang. Marselino Taksa Pambudi atau anak-anak Andromeda biasa memanggilnya Mantap, tengah berlari panik menghampiri. Napasnya putus-putus. Kerut di kening Sagi otomatis tercetak.
“Bara ....” Mantap masih mengatur napas. Tubuhnya menunduk. Kedua tangan bertumpu di lutut. Berikutnya, dia memilih menarik lengan Sagi yang masih bingung. “Lo lihat aja sendiri,” katanya. Nada bicaranya kelewat takut. Sagi hendak menolak diseret begitu saja—apalagi sambil menyebut nama Bara, tetapi begitu melihat anak-anak OSIS dan beberapa siswa berhamburan keluar, dia urung melakukannya.
Sagi di bawa ke belakang gedung yang menaungi GOR, ruang-ruang khusus ekstrakurikuler, dan atap sekolah. Segera saja, pemandangan yang tak pernah dia duga terpampang jelas di depan mata. Degup di dada meningkat berkali-kali lipat. Dia berjalan lebih dekat, menerobos kerumunan kecil yang saling menyuarakan ngeri sekaligus prihatin, tak menyangka, dan sejenisnya.
Hampir semua anggota OSIS berada di sana, mereka tengah menyiapkan rapat pagi. Lalu beberapa kelas sepuluh, sebelas, dan kebanyakan kelas dua belas. Sagi bisa menjumpai anggota fotografi juga turut hadir sambil menatap sang ketua klub dengan tangan menutupi mulut—baru kemarin mereka melihat Bara yang masih segar bugar, memimpin briefing, tersenyum ramah seperti biasa, tapi hari ini ... dengan baju yang sama dengan yang dikenakan kemarin ....
“B-Bar ....” Napas Sagi rasanya dipaksa berhenti di tenggorokan. Takut-takut dia menyentuh lengan Bara yang dingin. Mata cowok itu terkatup sempurna. Darah di mana-mana, menjadi alas di atas rumput-rumput yang mulai tinggi. Kaus dengan logo klub fotografi dan kemeja yang tidak dikancing sudah dihiasi noda darah yang mengering. Melihat sisa luka sayat di lengan, dia bisa berasumsi bahwa ada yang sengaja mencelakai Bara.
KAMU SEDANG MEMBACA
SAGITTARIUS
Novela JuvenilOneDream_id : Sagittarius A story by @dkfmxk [17+] Setelah sadar pasca kecelakaan, Sagi Tarrios Sinistra harus dihadapkan pada beberapa hal menyulitkan dan tak biasa. Selain kehilangan Ryu, Sagi juga harus kehilangan memori seputar kebersamaannya de...