Sesenta y cinco ♐

298 45 16
                                    

"Tak perlu menunggu yang jauh. Yang paling dekat pun bisa membunuh tanpa menyentuh."

ʕ•ﻌ•ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ•ﻌ•ʔ

Sagi berhenti sejenak usai mencangklong tas di bahu. Tatapannya tiba-tiba tertuju pada pucuk kertas terlipat agak kusam yang terselip di antara tumpukan buku sekolah. Dia menarik kertas tersebut, membaca judulnya sekilas, lalu pikirannya berkelana. Artikel tentang Sum Kuning yang ditulis Ryu dan Raina seharusnya punya sesuatu yang bisa menjawab setidaknya satu atau dua pertanyaan di kepala. Kalaupun cuma sekadar artikel, mestinya ada alasan mengapa foto mading waktu itu dikirimkan padanya. Dan dia masih mencoba menemukan alasan tersebut.

"Sum Kuning, korban kekerasan dan pemerkosaan ...." Sagi bergumam. Kerut-kerut kecil di dahi terlihat. Detik berikutnya dia meringis. Kepalanya mendadak pening dan nyeri. Kupingnya berdenging. Potongan ingatan melintas bergantian. Suaranya saling tumpang tindih. Sigap sebelah tangan meraih apa saja sebagai tumpuan. Bagian lutut refleks menyentuh lantai ketika tubuhnya merosot.

"Gi, a-aku ...."

"Bilang aja, Ryu. Aku nggak bakal marah."

"Ryu ...." Sagi kembali bergumam, mencoba menyibak satu demi satu kilas balik yang hanya terlihat samar-samar. Lalu ketika pening makin tak tertahankan, dia menyandarkan tubuh pada tepian ranjang. Tangannya meraba-raba saku celana, merogoh isinya, lalu mengambil satu butir pil dari tabung kecil.

Napas Sagi mulai berembus teratur beberapa menit usai pil tadi ditelan. Selembar artikel masih tergenggam di tangan. Dia melirik kertas itu sekali lagi, lalu napas beratnya diembuskan. Sebuah kesimpulan mulai terbayang di kepala. Namun, di titik ini dia kelewat takut untuk mengucapkannya sendiri.

"Nggak ... mungkin, 'kan?" Kepalanya menggeleng. "Gue pasti salah nebak."

Sagi berusaha mengatur napas sekali lagi. Bunyi ponsel membuat perhatiannya teralihkan. Dia memutuskan berdiri, merapikan seragam, kemudian membuka pesan yang baru saja masuk beberapa detik lalu.

Gue ada piket pagi, jadi berangkat duluan.

Nggak usah dijemput.

Sagi melirik jam. Bibirnya tersungging tipis saat membaca pesan teks dari Letta. Dia juga harus berangkat sekolah sekarang dan melupakan pemikiran konyolnya barusan.

ʕ•ﻌ•ʔ

"Ngapain lo, Gi?"

Raga menilik Sagi yang dari tadi hanya diam berdiri di dekat area basement sambil memandangi sesuatu. Sagi masih belum merespons saat Raga memutuskan mendekat, ikut berdiri selagi mengikuti arah pandang Sagi. Di pelukannya membawa kotak karton berukuran besar berisi tumpukan pigura kosong. Dia seharusnya tampak sedang sibuk bagi siapa pun yang melihatnya wara-wiri dari aula ke ruang fotografi sepanjang jam istirahat untuk mengangkut barang-barang sisa praktik.

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang