Cincuenta ♐

312 60 17
                                    

‘Aku memerlukan genggaman, tapi telanjur jatuh sebelum sempat meraihnya.’

ʕ•ﻌ•ʔ

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ʕ•ﻌ•ʔ

“Gue bakal balik lagi.”

Sagi mengelus lengan Bara pelan. Hanya ada suara monitor yang menjadi jawaban bisu bagi Sagi. Laki-laki yang terbaring itu seakan tak tertarik bangun atau setidaknya menanggapi meski hanya berupa gumaman. Belum ada perubahan berarti sejauh ini. Selang yang menembus mulut masih setia bergelantungan di sana. Entah mengapa, Sagi tidak suka melihat Bara diam dan memejam seperti itu. Dia ingin mendengar Bara yang cerewet mengoreksi hasil jepretannya.

Sagi melipat handuk kecil yang mulai mengering, bekas menyeka lengan dan jemari Bara. Helaan napasnya terdengar sesak dan berat. Perih menjalari dada sesegera mungkin. Mereguk rasa percaya dirinya yang sejauh ini berupaya kuat agar tidak terus-menerus menyalahkan segala hal yang telah terjadi. Semakin hari beban di bahunya seakan bertambah berkali-kali lipat. Kenyataan tak terduga perihal Kinara dan Andra membuatnya masih bingung memuat informasi.

Sore itu, sehabis dari kafe, Sagi langsung pulang. Semua keperluan sekolahnya diusung, demikian beberapa potong baju di lemari. Dia membungkusnya pada sebuah tas besar dengan tangan gemetar. Gitar miliknya sudah disandangkan di bahu.

Kenyataan mengejutkan itu membuat kepala dan hatinya bekerja tak sinkron. Sagi membuat keputusan tanpa mau berpikir lebih panjang. Sebutir dua butir keringat dan air mata menetes bersamaan. Namun, dia sigap menghapusnya sebelum bertambah banyak.

Tujuan utama Sagi adalah pergi dari rumah sementara waktu. Menjernihkan kepala agar bisa memahami situasi. Menenangkan diri, menjauh dari Kinara untuk memproses sebuah penerimaan. Itu terlalu mengejutkan baginya. Mungkin bagi Vina juga. Saking sulitnya, hingga rasanya tak ingin mempercayai apa yang saat itu dia dengar dan lihat.

“Gue bakal sering-sering jenguk,” bisik Sagi. “Thanks, udah mau bertahan sampai detik ini. Kerja bagus, Bar.”

Sagi menarik selimut hingga batas perut. Menatanya serapi mungkin. Sekali lagi ia mengamati tubuh Bara yang masih menyisakan lebam kebiruan di beberapa bagian. Perban melilit kaki, tubuh, dan kepala. Sagi menunduk, lalu mendongak dengan senyum tipis mengembang.

“Tidur yang nyenyak.”

Detik berikutnya, Sagi benar-benar pergi.

ʕ•ﻌ•ʔ

Ponsel di meja berdering berkali-kali. Sagi bangkit dari sofa, menilik sebentar nama sang pemanggil. Ada lebih dari dua puluh panggilan tak terjawab dari Kinara, sepuluh dari Andra, sepuluh lainnya dari beberapa teman-temannya, Raina, dan juga ... Vina. Saat ia hendak menaruh benda itu lagi, nama Vina muncul di layar ponsel.

Sagi tak tahu harus bereaksi bagaimana nantinya. Jadi, dia memilih membiarkan panggilan itu berhenti sendiri. Setelah tak ada dering yang tersisa, dia langsung menonaktifkan ponselnya, lalu menaruh di sembarang tempat. Dia hanya tak ingin bertemu dan berbicara pada siapa pun, untuk saat ini.

SAGITTARIUSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang