07# Ancaman

316 39 2
                                    

Brak

Lelaki jangkung dengan tubuh yang masih mengenakan seragam putih hitam dengan balutan rompi merah masuk ke dalam ruangan berwarna putih gading setelah menghempaskan pintu dengan kasar. Lelaki itu Dimas. Dengan langkah besar dan tatapan tajamnya ia menghampiri lelaki berumur senja yang tengah duduk di bangku kebesarannya.

"Tak pernahkah kau diajarkan sopan santun sebelum masuk ke ruangan orang?" Tanya pria berjas. Tatapannya tak menunjukkan ekpresi sedikitpun. Sungguh datar.

Yang ditanya berdecih tanpa rasa takut sedikitpun seolah lupa bahwa pria dengan wibawa dan karismatik yang dipancarkan adalah kakeknya.

"Bahkan orang seperti anda tidak pantas diberi penghormatan." Balasnya dengan nada remeh.

Jemian Bara Dirgantara-nama lelaki itu, ia maju mendekati sang cucu dengan tangan mengepal tanda ucapan yang ia dengar berhasil menyulut emosinya. Tanpa ragu tangannya melayang di udara tepat mendarat pada wajah Dimas.

Plak

Dimas membolakan mata saat pipinya terasa kebas namun segera menutupi keterkejutannya. Bukan sekali dua kali ia dipukul seperti ini tapi rasanya tetap menyakitkan dan berakhir menahan rasa sakit seorang diri hingga rasa itu berubah menjadi rasa benci yang kini menyeruak memenuhi relung hati pada sosok kakek yang sudah menghancurkan hidupnya. Lelaki yang sudah berumur senja namun sama sekali tidak menunjukkan perilaku sebagaimana mestinya. Sifat arogan selalu mendominasi membuatnya selalu mengangkat kepala tinggi tanpa mau merendah.

"Dasar tidak tahu diri! Jaga mulut kamu!" Tegas tuan Bara. "Berapa kali saya bilang untuk tidak membuat masalah, hah?" Lanjutnya dengan nada tinggi. Dimas menatap datar sambil menahan ngilu di rahangnya.

"Kamu begitu memalukan! Apa kamu bodoh mencari masalah dengan siswa terbaik sekolah ini? Atas dasar apa kamu ingin mengeluarkan dia? Kamu pikir kamu bisa menggantikan dirinya yang sudah membawa nama baik sekolah? Tidak. Tidak akan pernah Dimas. Kamu selalu memalukan. Tingkahmu tak mencerminkan keluarga terhormat." Bentak Tuan Bara.

Dimas mengepalkan tangan kuat, rahangnya mengeras mendengar setiap caci maki. Desiran amarah mengalir dalam jiwanya. Satu hal yang selalu ia pertahankan, yaitu harga diri dan sosok di hadapannya selalu berhasil merendahkannya dengan lisan setajam belati. Tak pernah ia berharap dilahirkan dengan bergelimang harta jika nyatanya tak ada satupun dari harta itu membawa kebahagiaan. Justru hanya nelangsa yang ia dapat.

"Kamu dan ayah kamu memang tidak pernah tahu diri, bergunalah sekali jangan selalu menjadi parasit."

Emosi yang sedari mati-matian ditahan meletup setelah cacian tak hanya membawa dirinya tapi juga mengikutsertakan ayahnya.

Prang

Tuan Bara terkejut ketika vas bunga dilempar ke lantai hingga hancur berserakan.

Dimas mendekati kakeknya dengan wajah merah padam, "Jangan pernah hina ayah saya dengan mulut busuk anda!!" Ucapnya penuh penekanan. Mereka berdua saling melempar tatapan tajam seolah siap membunuh satu sama lain hanya lewat tatapan. "Saya pastikan anda hancur seperti yang anda lakukan pada ayah saya. Harta dan tahta yang anda agungkan akan menjadi malapetaka. Camkan itu!" Dimas melangkahkan kaki keluar meninggalkan Tuan Bara yang terdiam dalam berdirinya. Namun langkahnya kembali terhenti tepat sebelum membuka pintu.

"Dan satu lagi." Ucapnya tanpa menoleh ke belakang, gejolak amarah menjadi rasa sesak saat kata-kata menyakitkan kembali terputar di otaknya. Dimas menarik napas panjang lalu menghembuskan kasar sebelum kembali berucap. "Penghinaan anda pada saya semakin membuat saya membenci anda." Setelah mengeluarkan kalimat itu Dimas benar-benar pergi.

AKSARA | RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang