Happy Reading
・┆✦ʚ♡ɞ✦ ┆・
Terik matahari tak sepanas tengah hari, eksistensinya perlahan tenggelam dari balik awan putih. Sosok pemuda dengan balutan seragam batik khas sekolah barunya itu tak henti menyunggingkan senyum. Kurva lengkung itu bahkan ikut diberi pada pejalan asing yang tak sengaja bertemu tatap, bisa dikatan penyebabnya karena bahagia kini tengah menyelimuti hati dan jiwa si pemuda.
Isi kepala Aksara bergerak liar. Dalam khayalan terjauhnya, ia sering memikirkan bagaimana rasanya hidup seperti anak pada umumnya—memiliki banyak teman, bermain hingga petang, dicari oleh orang tua, dan dimarahi karena pulang dengan eksistensi noda tak berbentuk di baju.
Aksara tak pernah tahu gejolak kesenangan random seperti itu. Bahkan imajinasinya sudah dipatahkan di awal, dirinya tidak punya teman.
Sebab itu jangan salahkan dirinya yang masih seperti dalam mimpi ketika berdiri di tengah orang-orang yang menganggap kehadirannya. Tak pernah terpikir sedikitpun dalam benak Aksara, bahwa jalan hidupnya akan berubah menjadi sebaik saat ini.
Ia tak banyak protes saat Tuhan menghendaki jalan hidupnya seperti dulu, yang terbiasa sendiri, menjadi tawanan bullyan siswa lain, hidup dalam bayang cacian dan hinaan. Semua Aksara terima terlampau ikhlas.
Dirinya percaya akan kuasa Tuhan. Percaya bahwa Tuhan itu Maha Baik. Dia hanya perlu menunggu sampai benar-benar Tuhan menghendaki kebahagiaan setelah banyak rintangan yang lalu lalang dalam garis hidupnya.
Satu hal yang selalu ia ingat, Tuhan itu tak pernah tidur. Sekecil apapun perbuatan manusia Tuhan tahu dan sebanyak apapun doa yang terucap hambanya Tuhan dengar.
Terkadang, manusia itu banyak mau tanpa paham lebih dulu esensi apa yang di mau, sedang Tuhan tau niat sekecil apapun yang di hati umatnya, maka dari itu Ia memberi sesuai yang umat-Nya butuhkan, dan kuncinya adalah sabar.
Semilir angin sore yang sedikit banyak bercampur polusi, menerbangkan rambut hitamnya yang sudah mulai panjang—ingatkan Aksara untuk memotong rambu nanti.
Kakinya terus melangkah dengan cepat. Ingin segera tiba pada rumah yang menjadi tempatnya kembali. Pikirannya tak henti memutar percakapan singkat antara dirinya dengan guru seninya tadi.
"Aksara, dari semua lukisan yang sudah ibu lihat, Ibu akui lukisanmu sangat indah. Bukan hanya terlukis dengan apik namun pesan yang kamu ingin sampaikan pun dapat ibu pahami dengan baik."
Aksara memang mencintai dunia seni. Bunda yang mengajarkannya dulu saat dirinya dan sang kakak belum remaja saat ini. Waktu itu kebutuhan mereka belum banyak sehingga bunda tidak banyak bekerja dan memiliki cukup waktu untuk mengajarkan bagaimana mengisi waktu luang dengan hobi melukis.
"Dari sosok wanita yang kamu lukiskan, ini adalah sosok berharga bagimu. Mata ini—mata yang didalamnya ada bintang namun menangis menandakan sebuah kebahagiaan yang diiringi tangisan. Tangan yang kau gambarkan terikat oleh tali kusut menunjukkan banyak hal yang bergantung padanya, dan dua bayi yang berada dalam dekapannya—itu adalah anugerah yang selalu ingin wanita ini lindungi."
Aksara tak pandai mengungkapkan isi hatinya melalui kata. Mungkin tak hanya dirinya yang merasakan hal itu, sebab diluar sana mungkin banyak orang sepertinya yang tidak pandai merangkai kata untuk didengar oleh orang lain.
Hidup hanya bersama bunda dan Aziel menuntut Aksara untuk dewasa meski umurnya masih sangat pantas bermain kesana kemari. Menyaksikan bunda yang pontang-panting bekerja siang malam tanpa banyak keluh yang terlontar membuat Aksara cukup mengerti bahwa bundanya menyimpan banyak beban yang tak ingin dibagi pada anak yang bahkan belum genap memasuki remaja. Hal itu secara impuls mendoktrin dirinya untuk tidak menambah beban sang bunda hanya untuk keluhan remeh miliknya yang tak seberapa.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA | Renjun
Teen FictionSemesta tidak pernah habis memberi kejutan. Membiarkan manusia terjebak dalam ruang tak kasat mata. Saling berlari mencari pintu keluar dari lubang hitam menyesakkan. Dia Aksara. Lelaki yang berharap kisahnya berakhir bahagia, tidak peduli sekeras a...