10# Liberosis

276 44 6
                                    

Liberosis --> Perasaan yang muncul ketika kita tidak ingin memperdulikan sesuatu hal yang terjadi.

||♡♡||


Riuh rendah kelas tak lagi terdengar sejak bel berdering setengah jam yang lalu. Murid yang tidak memiliki kepentingan sudah meninggalkan kelas bahkan semenit sejak waktu sekolah habis seolah mereka sudah tak ingin berlama lagi di dalam gedung berwarna putih abu itu.

Beberapa tas masih bertengger apik, mayoritas milik murid yang memiliki jadwal ekstrakurikuler. Namun, masih ada dua siswa yang duduk di kursi masing-masing, bertahan dalam keheningan. Yang satu fokus dengan handphone-nya sedang pemuda lain bergeming dengan pikiran berkecamuk.

Mereka adalah Aksara dan Galaksi.

Aksara jelas memiliki tujuan mengapa ia masih betah di sekolah. Apalagi alasannya selain menunggu Ara menyelesaikan rapat OSIS. Tapi Galaksi? Entahlah, pemuda itu hanya diam, Aksara pun acuh, tak ingin peduli atau bertanya toh selama ini jika tidak ada Haidar atau Ara keduanya memang kembali menjadi orang asing.

Ting

Ara🌠
| Aku udah mau selesai rapat
16.30

Aksara
Tunggu disana|
Tas kamu aku bawain|
16.30

Aksara bergegas merapikan barang miliknya sekaligus milik Ara. Galaksi yang melihat Aksara akan pergi merasa tak punya banyak waktu, dengan berani ia menyuarakan apa yang mengganggu pikirannya sedari tadi.

"Papa sakit." Akhirnya dua kata itu keluar.

Di bangkunya Aksara bergeming, suasana kelas sepi hingga suara itu masih bisa ia dengar meski pelan. Namun, Aksara memilih acuh dengan kembali memasukkan alat tulis.

Galaksi menghela napas, pikirannya tak tenang sejak semalam. Entah apa yang terjadi dengan papanya, saat tiba di rumah dari kantor, Gala justru mendapati papanya kembali dalam keadaan basah kuyup ditambah tubuhnya demam dan menggigil. Galaksi bahkan tak tidur sebab papanya menggumamkan nama Aksara dan Aziel terus menerus dalam tidurnya.

"Papa sakit, Sa." Untuk kedua kali ia mengucapkan kalimat yang sama.

Aksara berusaha menutup mata dan menulikan pedengarannya. Ia bergegas pergi namun tangannya dicekal, Aksara mendongak dan menatap tajam Gala.

"Lepasin tangan gue!" Pintanya penuh penekanan.

Galaksi menolak, "Gue mohon temuin papa. Dia kangen lo banget, Sa."

Aksara tersenyum sinis, tangannya ia tarik paksa hingga berhasil terlepas.

"Papa yang lo maksud itu siapa, hah?" Tanyanya dengan raut datar. "Dari gue kecil oh engga bayi mungkin, gak pernah sekalipun gue ngerasa punya seorang papa. Gue tumbuh dewasa dengan kasih sayang bunda tanpa seorang ayah. Jadi, simpan permintaan lo karena gak ada kata 'ayah' dalam hidup gue." Aksara menahan nyeri tak kasat mata kala kalimat itu terucap. Bayangan masa kecilnya yang tak pernah diiringi kasih sayang seorang ayah berputar acak. Harapan kecil yang selalu ia semogakan hanya untuk merasakan bagaimana rasanya dijemput saat pulang sekolah atau di tanya 'belajar apa hari ini?' tak pernah terwujud.

Dan kini, untuk apa sosok itu datang saat dirinya tak lagi memiliki harapan apapun.

Galaksi menunduk tak ingin menatap mata itu, mata yang menyiratkan banyak makna. Mata yang dominan menunjukkan kekecewaan dan kesedihan dibanding binar bahagia.

"Gue tau lo marah dan kecewa tapi papa bener-bener menyesal, Sa." Galaksi berusaha menatap kakak yang berbagi darah ayah yang sama dengannya, "Papa berusaha memperbaiki semuanya. Kenapa lo justru menghindar? Apa sesulit itu memaafkan?"

AKSARA | RenjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang