Pintu bercat putih yang menghubungkan langsung ke dalam ruang persegi itu terbuka dengan pelan.
Aksara diam di depan pintu dengan raut khawatir serta keringat yang membasahai dahi hingga pakaiannya. Dengan pelan ia menutup pintu lalu berjalan mendekati bundanya yang terbaring dengan mata terpejam.
"Bunda..." panggil Aksara pelan. Disentuhnya tangan Kinar dengan lembut, sudah lama sekali dirinya tidak bertemu bunda. Mati-matian ia menahan rindu supaya bundanya tidak dihantui masa lalu terus menerus saat melihatnya. Hari ini akhirnya rindu itu menguap saat dirinya bisa mengamati wajah cantik itu dengan tenang tanpa kata-kata buruk yang terucap.
Aksara menyelimuti tubuh Kinar hingga sebatas dada sembari mengajak bicara meski tak ada jawaban.
"Om Arga bilang bunda mau ketemu aku. Bunda tau, aku langsung kesini begitu tahu bunda kembali histeris." Cerita Aksara sembari terus mengamati wajah Kinar.
"Apa bunda rindu aku?" Setelah berucap hal itu Aksara tertawa kecil, "Gak mungkin sih bunda rindu aku, bunda pasti keinget aku yang celakain kakak lagi ya? Karena itu bunda histeris?"
"Maafin Aksara ya bun." Aksara menunduk dalam. "Maafin Aksa yang gak bisa jagain kakak dengan baik. Bunda benar, coba saja malam itu aku engga biarin kakak ikut aku keluar rumah pasti kita masih bersama. Coba saja aku bisa nahan diri buat beli alat lukis untuk lomba ku pasti kakak masih ada sama kita."
"Aku memang bukan yang bikin kakak kecelakaan, tapi secara tidak langsung aku yang membawa kakak dan mengantarkan kakak sampai harus mengalami kecelakaan."
Aksara menelungkupkan wajahnya di tepi ranjang sembari terisak. Andai saja semua bisa diulang, jika harus tertabrak Aksara ikhlas menggantikan posisi itu.
"Maafin Aksa bunda..."
"Aksa cape bunda. Setiap malam kejadian itu selalu jadi mimpi buruk buat Aksa. Aksa pingin dipeluk bunda kayak dulu, pingin denger suara bunda supaya bisa tidur. Tapi bunda gak mau ketemu aku lagi."
Aksara mencurahkan segala luka batinnya. Tanpa perlu diingatkan, dirinya akan selalu ingat peristiwa yang merenggut nyawa saudaranya. Setiap malam, kenangan itu selalu berputar dan menjadi monster mengerikan bagi Aksara.
Darah, terikan orang-orang, suara sirine seolah menjadi trauma yang kapanpun bisa merenggut kewarasannya.
Selama ini Aksara diam. Menyembunyikan semua yang membekas dari kejadian 5 tahun silam dalam otaknya. Tak ada yang tahu, bahwa di tengah malam ia akan menangis dan menyalahkan dirinya yang tidak mampu melindungi saudaranya.
Semua tersimpan rapi, seperti buku tua tak tersentuh.
Air matanya tumpah seiring dengan isak yang terdengar pilu. Setiap orang punya dua sisi dalam hidupnya. Sisi menyenangkan-yang begitu didambakan, dan sisi menyedihkan- yang begitu ingin disembunyikan agar tidak diketahui siapapun.
Aksara tenggelam dalam kesedihan dan rasa sakit seorang diri tanpa uluran tangan siapapun. Ia selalu meyakini diri bahwa Tuhan tak pernah tidur, Tuhan tahu segalanya-pun tahu seberapa lelahnya ia terpenjara dalam bayang semu mematikan yang ia ciptakan sendiri.
Ia lelah.
Lelah dibenci.
Lelah dijauhi.
Lelah dengan segalanya.
Aksara hanya ingin dipeluk. Diyakini bahwa dirinya tak salah. Semua sudah kehendak Tuhan.
Puk
Sebuah usapan lembut terasa menyapu kepalanya yang menunduk. Suara yang ia rindukan beberapa minggu kembali terdengar. Namun kali ini rasanya berbeda, seperti Aksara ditarik ke dalam mimpi indah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA | Renjun
Teen FictionSemesta tidak pernah habis memberi kejutan. Membiarkan manusia terjebak dalam ruang tak kasat mata. Saling berlari mencari pintu keluar dari lubang hitam menyesakkan. Dia Aksara. Lelaki yang berharap kisahnya berakhir bahagia, tidak peduli sekeras a...