Kinar termenung di atas kursi roda dengan sebuah album foto di pangkuannya. Hati dan pikirannya saat ini begitu gelisah. Suara pikiran yang saling bertentangan memenuhi kepala hingga rasanya siap meledak kapan saja.
Sebuah album foto ia genggam. Rasa ragu untuk membuka hadir sejak album itu diberikan padanya. Kinar berusaha menguatkan diri, melawan pikiran buruk yang senantiasa hadir kala memori pahit itu kembali. Perlahan jemarinya tergerak membuka halaman sampul berwarna abu. Setetes air mata pun jatuh membasahi halaman pertama. Dimana sebuah foto menunjukan anak laki-laki tengah tersenyum cerah menunjuk matahari yang hendak tenggelam.
Kinar mengusap foto Aksara lembut. Aksara anaknya. Putranya yang sudah ia telantarkan lebih dari 5 tahun. Sudah lama Kinar tidak melihat senyum Aksara yang terlampau indah. Rasanya lama sekali Kinar mengabaikan senyum itu.
Andai saja dirinya tidak egois dengan menyalahkan semua kejadian masa lalu pada Aksara, mungkin akan ada banyak waktu yang mereka lewatkan bersama. Ia bisa melihat pertumbuhan putranya yang sudah beranjak dewasa.
"Bunda bersyukur kamu dikelilingi orang yang begitu sayang sama kamu, Nak." Lirih Kinar melihat kumpulan foto Aksara tengah bermain bersama teman-temannya.
Di halaman selanjutnya ia mendapati foto anaknya tengah merayakan ulang tahun. Liquid bening kembali jatuh.
"Kamu sudah dewasa, Aksara." Ucap Kinar lirih. Ia tak mampu menutupi rasa rindu yang teramat dalam pada buah hatinya.
"Bunda, Adek dan kakak akan ulang tahun. Aku mau kue gambar peri Moomin boleh?" Tanya anak kecil itu.
Kinar mengelus surai lembut putra bungsunya, memberi kenyamanan agar segera terlelap melihat bagaimana mata itu bergerak sayup.
"Nanti akan bunda buatkan kue untuk Ziel dan Aksa ya."
Kinar menangis sembari meremat foto itu penuh penyesalan, "Maafkan bunda, Aksara.. Bunda sudah melewatkan pertumbuhanmu.. Bunda bukan ibu yang baik untukmu..."
Kinar memeluk erat album foto pemberian Ara, gadis cantik yang sering mengunjunginya. Ara membuat khusus album berisikan cerita harian Aksara yang Kinar lewatkan. Rasa bersalah hadir di lubuk hati terdalamnya ketika ingat caci maki selalu keluar dari bibirnya untuk putra bungsunya. Hanya ada tatapan penuh kebencian yang ia layangkan kala menatap obisian hitam anaknya. Tanpa ia sadari, mata itu, mata yang selalu berkilau kini tak lagi menunjukkan binar bahagia. Hanya tatapan sendu dan lelah, seolah tak ada lagi yang mendukungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKSARA | Renjun
Teen FictionSemesta tidak pernah habis memberi kejutan. Membiarkan manusia terjebak dalam ruang tak kasat mata. Saling berlari mencari pintu keluar dari lubang hitam menyesakkan. Dia Aksara. Lelaki yang berharap kisahnya berakhir bahagia, tidak peduli sekeras a...