001

3K 237 23
                                    

"Mantan keenam dan cowok ke-tiga belas, El!" pekik gadis berambut lurus sebahu yang baru saja menjatuhkan shoulder bag hitamnya di atas meja kayu yang kosong

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Mantan keenam dan cowok ke-tiga belas, El!" pekik gadis berambut lurus sebahu yang baru saja menjatuhkan shoulder bag hitamnya di atas meja kayu yang kosong. Ishana Anantari benar-benar marah rasanya. Matanya yang sipit dan tajam kian tajam. Napasnya memburu dari hidungnya yang kecil mancung itu. Alisnya menukik. Bibirnya yang tipis mengerucut. Kulit wajahnya yang seputih susu itu merona merah saking ia memendam dongkol. Perasaannya campur aduk tak keruan. Hubungannya kandas secara cuma-cuma, untuk yang keenam kalinya dalam seumur hidup.

Sementara satu-satunya barista yang tersisa, Elwandana, baru saja selesai mengelap counter tempat barista meracik minuman. Laki-laki berusia 27 tahun itu adalah salah satu dari dua pendiri Kahwa Café yang memilih untuk mengabdi jadi barista. Matanya bulat dan hitam legam, rambutnya ikal dan panjang setelinga, senada dengan warna matanya. Hidungnya agak besar dan mancung. Alisnya tebal, sama seperti bibirnya yang agak merah alami, yang kini tersenyum menanggapi keluhan Shana. "Mau Matcha, atau Iced Coffee?"

Shana berdesah berat. "Matcha, esnya jangan terlalu banyak, El," jawabnya. "Yang lebih nggak habis pikir ya, El, dia minta gue kembaliin uang yang udah dia habisin buat beli kado ulang tahun gue bulan kemarin! Nggak ada harga dirinya banget, sih!"

Dari balik counter, tanpa menoleh pada sahabat kecilnya yang mengeluh, El bertanya dengan penuh tenang, "Dia ngadoin apa?"

Shoulder bag hitam yang tadi dijatuhkan Shana, kini ia tepuk-tepuk, menjawab pertanyaan dari El, sekaligus membuat laki-laki dengan celemek cokelat itu menoleh. Dipandanginya tas hitam kecil itu. Paling-paling, isinya hanya cukup untuk dompet, ponsel, dan beberapa produk make up. Tapi, El tahu apa yang membuatnya mahal. Selain kualitas, logo berupa huruf D berwarna keemasan yang ada pada bagian depannya sudah pasti jadi alasan. Christian Dior, cukup jelas mengapa laki-laki tanpa harga diri itu meminta kembali uang seharga tas mahal ini. El mengangguk-angguk dan tertawa, "Pantes, sih. Paling-paling, belum lunas tuh tas. Berapa? Delapan juta, apa delapan belas?"

Shana memilih untuk diam, tidak memberikan respons apapun meski rasa kesalnya masih melingkup. Matanya kini fokus pada kedua tangan El yang sibuk menuangkan minuman ke dalam gelas kaca. "Dari awal tahun lalu, gue udah bilang sama lo, red flag-nya Kaisar tuh kebaca. Kan lo yang cerita sendiri, kalau dia suka nge-ghosting lo dengan alasan-alasan aneh itu," katanya sambil membawa gelas tersebut ke hadapan Shana. Gadis yang sedang dinasihati itu hanya mengerucutkan bibir.

El keluar dari counter, segera mendekat ke kursi bar yang mengarah langsung ke tempatnya meracik minuman tadi. Tepat di sebelah Shana ia duduk, lalu melepaskan celemek cokelatnya. Harusnya, kafe tutup setengah jam lalu, seandainya Shana tidak datang dan meminta El menemaninya curhat.

"Jadi, mau lo ganti tuh, delapan juta? Setara gaji dua bulan, nggak, sih?"

Shana menyesap minumannya sedikit. Gadis itu menggeleng. Dengan amarah yang memuncak lagi, ia menjawab, "Mau sampai kiamat juga, nggak akan gue mau ganti tuh uang."

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang