029

709 97 15
                                        

Pada hari terakhirnya di Jakarta, Shandy menemui Shana lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pada hari terakhirnya di Jakarta, Shandy menemui Shana lagi. Ada sesuatu yang sepertinya perlu Shandy luruskan, pun ada sesuatu yang hendak Shana ceritakan kepada Shandy. Keduanya sepakat untuk bertemu di gerai Starbucks Grand Indonesia, mengingat Shandy bilang ia perlu bicara serius dan tidak ada orang dikenal yang boleh mendengarnya. Shana manut. Ketika melangkah bersama seragam kerjanya, ia sudah melihat Shandy di dalam, sedang santai-santainya dengan iPad yang terbentang di depan matanya, di atas meja.

"Sori, Shana kelamaan, ya, Bang?" sapa Shana sambil meletakkan clutch putihnya di atas meja, lalu duduk dengan begitu sopan di hadapan Shandy.

"Eh, nggak kok. Santai aja, lagi. Abang udah free soalnya. Habis ini juga tinggal pulang ke Bandung."

Shana mengangguk-angguk paham. "Ya udah, Shana pesen minum dulu, ya?"

"Boleh-boleh. Abang tunggu sini."

Perempuan itu beranjak dari kursi, melangkahkan kakinya dengan tegas menuju meja kasir. Shandy terdiam di kursinya, diam-diam menyaksikan punggung Shana semakin lama semakin menjauh dari pandangannya. Tipis, ia tersenyum. Perubahan Shana yang begitu drastis membuatnya tersadar bahwa waktu telah berlalu begitu panjang.

Belum pernah Shandy membayangkan adiknya yang dulu kecil dan cengeng, akan bertransformasi jadi perempuan cantik yang tinggi semampai, kuat pula.

Dalam lima belas menit, Shana sudah kembali duduk bersama segelas minuman berukuran venti yang serta merta ditanamkan sedotan olehnya. "Abang mau ngomongin apa?"

Air muka Shandy langsung berubah. Wajah semringah penuh semangatnya surut begitu saja, berganti dengan gugup tak terelakkan. Tangannya gemetar kecil, yang segera Shandy sembunyikan di balik meja. Jantungnya berdebar. Sejujurnya Shandy belum merancang kata-kata untuk ia sampaikan malam ini. Akan tetapi, El dan Shana akan segera menikah, cepat atau lambat. Shana juga sempat menyinggung kalau ia ingin bertemu dengan ayahnya di Bandung. Maka, Shandy harus mengatakan yang sebenarnya.

Sekali lagi, Shandy memandang wajah adiknya sembari mengumpulkan keyakinan dan keberanian yang entah sedang berpencar ke mana. Terlampau gugup, Shandy sampai mengigit bibir bawahnya sampai harus menghela napas berulang-ulang, menimbulkan tanda tanya besar pada benak Shana.

Seserius apa, sih, yang mau Shandy katakan?

"Sebenernya Abang mau bilang dari kemarin pas di kafe, Shan, tapi El keburu ngalihin perhatian," aku Shandy, sebagai permulaan dari ceritanya. Shana mengangguk-angguk, sabar menanti penjelasan selanjutnya. "This might be hard for you, tapi, jangan harap untuk ketemu sama Papi lagi, ya, Shan."

Kali ini Shana mengernyit. Kesabarannya seketika buyar. Hatinya begitu tergesa-gesa ingin tahu maksud dan tujuan Shandy bicara begitu. Namun, sayang seribu sayang, gugup dari gerak-gerik Shandy yang sangat bisa Shana baca membuatnya mau tidak mau harus menunggu Shandy yang menjelaskannya sendiri, meski pelan-pelan sekali.

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang