009

682 92 7
                                    

Shana melangkah dengan lambat memasuki rumahnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Shana melangkah dengan lambat memasuki rumahnya. Ada yang janggal. Pintu depan tidak dikunci, itu artinya, salah satu di antara kedua orang tuanya baru tiba di rumah, dan itulah yang membuat Shana akhirnya melangkah dengan perlahan melewati tiap-tiap ruangan besar yang sudah gelap.

Sayang sekali, penyusupannya tertangkap basah. Shana baru saja hampir berhasil melewati ruang tengah dan meraih anak tangga pertama menuju lantai dua, tapi lampu tiba-tiba menyala. Secara otomat, langkahnya terhenti. Ibunya berdiri di ambang pintu kamarnya, dengan piama satin yang membalut tubuhnya.

"Jam dua, baru pulang? Kalau sif sore kan cuma sampai jam sebelas. Tiga jamnya lagi ke mana?" tanya wanita tersebut tanpa berbasa-basi.

Shana membalikkan tubuhnya, memandang balik wanita paruh baya yang bahkan enggan ia anggap sebagai ibunya sendiri. Dengan seringai mencemooh, perempuan itu membalas, "Mami juga, baru pulang. Seminggu ke Bali katanya nyusul Papa? Papa aja ada di rumah tiga hari lalu. Mami pergi sama siapa, tuh?"

Sukses Shana membuat ibunya langsung pasang wajah serius. "Itu urusan Mami, ya, Shana. Lagian, tau dari mana kamu Mami nggak pergi sama Papa?"

Shana mengedikkan bahu dengan cuek. "Ya berarti urusan Shana juga dong, Mam, Shana mau pulang jam berapa. Mami aja boleh ngapa-ngapain tanpa melibatkan Shana. Berarti, Shana juga boleh ngapain aja tanpa melibatkan Mami. Lagian, Shana juga udah gede, Mam," katanya. "Udah ya, Mam. Shana capek, ngantuk."

Tanpa menunggu respons dari ibunya, perempuan berusia 24 tahun itu melenggang pergi begitu saja, menaiki anak-anak tangga dengan cepat, menuju ke kamarnya sendiri di lantai dua. Tubuhnya langsung jatuh di kasur tanpa lebih dulu melucuti kemeja dan blazer kerjanya. Shana memandangi langit-langit kamarnya dalam diam. Pikirannya jadi kalut bukan main. Pertama-tama tentang El dan Ares, kedua tentang ibunya. Shana harap, hari ini ia tinggal bersama kakak laki-laki dan ayahnya.

Seharusnya, dulu Shana tidak buta-buta amat dengan apa yang sebenarnya terjadi. Kini, pertanyaan-pertanyaan jadi mengerubunginya tanpa henti. Sebenarnya, Shandy, kakak laki-lakinya, sayang padanya atau tidak, sih?

Shana berdesah gusar. Perempuan itu bangkit lagi dari posisi tidurnya. Segera, dilepaskannya seragam kerja yang masih melekat di badannya setelah lebih dari dua belas jam. Diraihnya piama hitam dengan celana pendek selutut di lemari pakaiannya. Shana berganti pakaian, sebelum akhirnya ia membuka laci di dalam lemarinya.

Hanya ada satu hal yang ingin dilihatnya, yaitu selembar foto lama yang sudah lama Shana kubur di bawah buku dan berbagai kartu garansi barang-barang miliknya. Singkat, senyumnya mengembang. Foto ini diambil dua puluh tahun lalu ketika ia berulang tahun keempat. Keluarganya masih lengkap. Di foto ini, ayah dan ibunya masih harmonis, masih sama-sama tersenyum begitu lebar sambil memeluk Shana yang mengenakan gaun paling megah sendiri.

Shana merindukan hari-hari sebagai anak kecil polos yang tidak tahu-menahu tentang masalah yang menimpa keluarganya.

Malam semakin larut, bulan segera berganti peran dengan mentari yang berbagi cahayanya di sela-sela tirai putih kamar Shana. Perempuan itu sudah tertidur tanpa sadar, bersama lembar foto yang berada di pelukannya sepanjang malam.

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang