010

656 82 14
                                    

Dua malam lalu, El pulang dengan sesal mendalam

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dua malam lalu, El pulang dengan sesal mendalam. Mungkin sebaiknya El tidak pernah melarang Shana dan meninggalkannya dengan tanda tanya, tapi toh kini semuanya terlambat. Shana sudah telanjur menerima kehadiran laki-laki itu, yang mana artinya, takkan pernah ada lagi ruang untuk El kecuali laki-laki itu pergi. Atau, El saja yang pergi, lagi.

Bahkan sampai semalam, El tidak bisa manfaatkan waktu untuk istirahat secara maksimal. Semalam, ia berkali-kali mencoba untuk tidur, tapi hasilnya tetap saja nihil. El tidak bisa memejamkan matanya hingga lelap, sementara waktu terus berjalan tanpa jeda. Sampai pagi menjelang, El belum sempat tidur, hingga akhirnya, espresso-lah yang jadi andalannya.
Pagi-pagi, pukul delapan, El sudah di kafe. Ia yang membuka kafe dan menjaganya untuk sementara waktu selagi menunggu pegawainya datang, satu jam lagi. Musik-musik pop-indie andalannya mengalun dengan volume pelan, syukur-syukur tidak sampai terdengar ke luar kafe.

El terbengong di kursi bar tempat biasa Shana duduk. Laki-laki itu sudah menenggak setengah gelas espresso-nya. Pikirannya belum mengosongkan nama Shana yang sedang jadi bebannya. Berkali-kali El memandangi chatroom-nya bersama Shana sambil terus-menerus menimbang keputusan dan membaca ulang pesan-pesan dari Shana yang selama ini ia abaikan.

Senyumnya tipis-tipis mengembang seiring matanya membaca tiap-tiap kata yang berbaris rapi di layar ponselnya. Dan, satu-satunya hal yang menyurutkan senyumnya adalah bergantinya tampilan layar El karena Ben menelepon.

Segera, El menerima teleponnya dan mendekatkan ponsel ke telinga kanannya. "Halo."

"El, di mana lo?" tanya Ben tanpa berbasa-basi. "Ikut gue ke Bekasi, nggak? Mau ngecek lokasi. Orang interior ngabarin gue kemarin sore, semua pesenan kita dateng hari ini, kita perlu ke sana buat terima."

"Jam berapa, Ben? Siangan gue mau ke Kalibata soalnya."

"Jam sembilanan gue jalan. Paling jam dua belas juga sabi pulang. Tapi kalau lo nggak bisa juga nggak apa-apa, El. Minggu depan aja kita ke Bogor, perlu survei lokasi ke dua tempat soalnya."

El mengangguk-angguk. "Oke. Nanti gue ke rumah lo deh. Gue di kafe, nih. Masih beberes tapi, anak-anak belum ada yang dateng," katanya.

"Siap."

Musik El yang sempat terjeda, kini secara otomat mengalun lagi ketika sambungan telepon terputus. Laki-laki itu memperbesar volume sedikit, lalu menenggak habis sisa espresso-nya sebelum meletakkan gelasnya ke tempat cuci piring. El turun dari kursi bar yang ditempatinya, segera ia nyalakan lampu-lampu yang masih padam. Diambilnya pula sapu untuk membersihkan seisi ruangan.

Hingga pegawai pertamanya tiba di kafe, El sudah hampir menyelesaikan kegiatan bersih-bersihnya. Kebetulan, sudah pukul sembilan. Laki-laki itu memutuskan untuk mengalihtugaskan tanggung jawab bersih-bersihnya, lalu segera pamit untuk pergi. Ia melaju bersama Nissan March putihnya menuju rumah Ben di daerah Gandaria.

Selalu, El tidak perlu repot-repot turun dari mobil kalau menjemput Ben di rumah. Sahabatnya itu sudah pasti menunggu di teras rumahnya sambil membaca buku-buku self improvement, atau kadang-kadang sambil menyirami tanaman milik istrinya di taman.

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang