032

785 93 6
                                    

Desahan Shana terdengar begitu berat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Desahan Shana terdengar begitu berat. Gadis yang kini bengong memandang El, tetap diam dengan tatapan kosongnya. Shana tahu El pasti akan datang, cepat atau lambat, tapi ia tidak menyangka kedatangannya akan secepat ini. Shana belum menyiapkan dalih apapun untuk pertanyaan El barusan.

Laki-laki itu meletakkan tas Shana di atas nakas, lalu menarik kursi ke sebelah ranjang untuk duduk di sana. El menatap Shana yang berpaling ke luar jendela. "Kalau belum mau cerita juga nggak apa-apa kok, Shan. Yang penting gue tau intinya. Lo kabur ke tol supaya gue nggak ngejar, kecelakaan, dan ujungnya sampai ke sini."

Bibir Shana mengerucut. Dilihatnya tangan kanan yang terbalut perban. Shana tidak tahu kalau balasan Tuhan akan kebohongan Shana pada El akan berakibat seperti ini. Aneh sekali.

"Lo udah makan?" tanya El, kembali memecah hening yang mulai mencekam.

Shana hanya mengangguk.

"Ini tuh ... ada hubungannya sama gue, ya, makanya lo kabur dari rumah dan gue nggak tau apa-apa?"

Shana menggeleng kali ini. Perempuan itu balik menatap El. Matanya berkaca, bibir tipisnya melengkung, membentuk senyum kecil. "Mami sama Papa cerai, El. Gue baru aja bilang sama Papa kalau gue bakal nikah, dan hadiah yang gue dapetin ternyata rahasia yang selama ini Mami dan Papa sembunyiin dari gue. Mereka udah cerai, El. Mereka cuma lagi nunggu hari pernikahan gue untuk reveal perceraian itu di hadapan gue dan keluarga mereka," terang Shana. Perempuan itu terkekeh pelan, lebih seperti mengejek ucapannya sendiri. "Setelah gue tau dari Bang Shandy kalau Papa adalah bokap kandung gue yang sebenarnya, kenapa mereka malah udah cerai, ya?"

Tidak ada respons apapun dari El. Ia terlalu tidak menyangka kalau alasan Shana kabur dari rumah adalah kabar seperti ini. Meski tidak tahu betul bagaimana perasaan Shana, tapi cukup dengan melihat kantung matanya yang tebal—bahkan sejak beberapa jam lalu—sudah cukup membuat El paham betapa Shana terpukul dengan kenyataan tersebut.

"El," panggil Shana, masih begitu lesu. El hanya bergumam, balik menatap dua bola mata Shana yang berkaca. "Sebenernya, Tuhan—"

"Tuhan nggak akan ngasih cobaan di luar kemampuan umatnya, Shana," potong El cepat. Laki-laki itu menyungging senyum selebar mungkin, berusaha menularkan senyumnya kepada Shana yang superlesu. Laki-laki itu bangkit dari kursi yang didudukinya, kini ia duduk di kasur, tepat di sebelah Shana. Tangannya yang besar membentang, merangkul Shana, mengusap lengannya lembut. "Seminggu kabur dari rumah, lo nggak punya temen cerita, ya? Sekarang, gue ada kok. Lo mau cerita apa lagi sama gue?"

Tiap kalimat El selalu sukses memantra kekacauan hatinya, mengusir segala karut-marut yang ada. Meski permasalahannya tidak pergi begitu saja, tapi Shana cukup tenang mendengar El bicara begitu padanya. Sangat menghangatkan dingin malam yang menyelimuti Rawamangun, Jakarta Timur.

"Kenapa sih, El, lo selalu kayak gini sama gue?" pertanyaan itu lugu sekali. El bahkan sampai tertawa mendengarnya. "Lo tuh, nggak akan pernah ninggalin gue, ya, dalam keadaan apa pun?"

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang