028

671 88 6
                                    

Jarak duduk mereka cukup jauh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jarak duduk mereka cukup jauh. Setiap Ares mendekat satu inci, maka Shana mundur dua kali lipatnya. Shana sudah mantap sekali merangkai kata-kata untuk sore ini. Termasuk tentang keputusannya yang tak kalah mantap, “Mulai sekarang, Mas udah nggak perlu lagi chat-chat dan dateng ke Jakarta buat ketemu saya. Saya nggak perlu Mas ada di sini.”
   
Jelas ini bukan jawaban yang Ares harapkan. Kedatangannya ke Jakarta justru ia sengajai demi Shana. Wajahnya sudah lesu, memelas pula. Matanya yang sipit itu mendadak sayu dan sendu. Kasihan, sih, sebetulnya. Apalagi dengan lebam biru di mata dan sudut bibirnya. “Shan, tolong dengerin saya dulu. Saya emang akan tunangan sama Sira. Tapi, saya masih punya celah untuk batalin pertunangannya, dan saya emang mau hal itu terjadi. Tapi, saya butuh kamu, Shan. Seenggaknya, sampai Ibu dan Bapak tau kalau saya punya calon di Jakarta.”
   
Shana menggeleng lugas. “Nggak, Mas. Hari ini, saya ketemu Mas Ares cuma mau bilang itu, dan Mas harus terima. Seperti saya yang terima kalau Mas lebih milih buat nyakitin saya kemarin.”
   
“Shan, saya minta maaf buat itu,” tutur Ares memelas. Tangannya bergerak, meraih punggung tangan Shana, yang sayangnya dengan tangkas Shana tampik. “Saya nggak ada maksud untuk ninggalin kamu tanpa kabar. Saya kemarin lagi bener-bener sibuk di sana karena saya harus cari cara untuk ngebatalin pertunangan itu, yang bahkan supermendadak buat saya sendiri.”
   
Seringai keji tampak di wajah Shana. Mata sipitnya yang tajam justru semakin memperkuat kesan antagonis di wajahnya. “Maka, keputusan Mas untuk ninggalin saya tanpa kabar pun saya anggap supermendadak, Mas. Mas udah buang waktu saya selama berjam-jam cuma untuk nunggu di stasiun. Saya udah buat keputusan, kalau saya nggak akan lagi buang-buang lebih banyak waktu untuk Mas.”
   
“Ini … karena kamu udah punya pacar, ya?”
   
Kening Shana mengernyit. Pacar? Pacar yang mana?!
   
“Iya, kan, Shan? Saya liat kok laki-laki itu sinis sama saya kemarin.”
   
Oh!
   
Shana sangat tidak menduga jawaban tersebut. Kemarin, selain ada El yang membelanya, ada pula Shandy yang menyusul setelah ia dibopong ke mobil. Pasti Ares berpapasan dengan Shandy.
   
Aneh. Memangnya, setidakmirip itu wajah Shana dan Shandy sampai-sampai Ares salah menyangka Shandy sebagai pacar barunya? Lagi pula, Shandy kan sudah mengenakan cincin di tangan kanannya!
   
Akan tetapi, memanfaatkan ketidaktahuan Ares, Shana memilih untuk tersenyum. “Mas udah nggak perlu tau kehidupan pribadi saya di sini, Mas. Itu privasi saya, dan bukan urusan Mas. Yang Mas perlu tau cuma satu, jangan pernah dateng ke Jakarta buat ketemu sama saya, Mas. Saya udah punya calon suami.”
   
Tak buang waktu, Shana segera menarik clutch hitamnya di atas meja, beserta dengan minumannya yang baru sekali ia teguk. Shana pamit pergi, meninggalkan Ares yang duduk termenung, bagai tak punya daya untuk ikut turun dari kursinya.
   
Sepuluh langkah pertama keluar dari gerai Koi Café, aman. Namun ketika ia berbelok di tikungan, seseorang menghentikan langkahnya. Elwandana Nugraha berdiri di depannya. Tidak ada reaksi apapun ketika Shana terang-terangan tertegun melihat keberadaannya. El juga tidak bicara apapun, membuat Shana langsung menduga banyak sekali hal-hal negatif dalam benaknya. Ini kebetulan yang sangat tidak menguntungkan!
   
“Eh … tumben, El, ke GI. Ada urusan?” Shana berusaha terlihat tenang dengan senyum yang dilebarkannya, yang nyatanya, kikuk dan hanya memperkuat dugaan El kalau Shana sedang menanggung panik bukan main. “Gue baru aja habis beli minum. Lo baru dateng atau udah mau pulang? Bawa mobil?”
   
“Mobil lo ada di mana?” tanya El tanpa menggubris pertanyaan-pertanyaan Shana.
   
“Ya, masih di hotel. Ini gue mau ambil, mau pulang.”
   
El mengangguk-angguk. Sikapnya masih sama dinginnya. Tatapannya penuh intimidasi, berhasil membuat Shana semakin berpikir negatif dan ingin lenyap saja dari dunia. “Pulang sama gue. Besok gue anter kerja, mobil lo tinggalin.”
   
Shana belum pernah dibuat setakut ini. Sepertinya, takkan ada pilihan untuk menolak titahnya. Maka, Shana mengangguk patuh. Sepertinya, sejak hubungannya dengan Ares runyam, ada satu hal yang membuat Shana memiliki ketakutan. El akan jadi satu-satunya orang yang harus, dan akan selalu Shana dengarkan tanpa bantah. Sial, apa yang mendorong hatinya sampai harus bersikap selemah ini di hadapan El?
   
Sunyi yang mencekam di sepanjang langkah dan perjalanan pulang mereka membuat Shana benar-benar tidak berani memecahnya. Minumannya masih Shana genggam erat-erat di pangkuannya. Seat belt menyilang dan menyekap tubuhnya kuat di kursi kemudi. Pandangannya tertuju pada pahanya sendiri yang setengah tertutup rok. Jantungnya berdentum-dentum. Shana benar-benar belum pernah sekhawatir ini.
   
Perempuan itu yakin, titah dingin serta raut marah di wajah El hanya satu penyebabnya. Shana yakin El tahu ada pertemuan rahasia di antara dirinya dan Ares sore ini.
   
Seandainya Jakarta Pusat tidak macet karena rush hour yang menjebak semua pengendara mobil dan motor, Shana juga yakin El pasti sedang membawa mobilnya melaju dengan kecepatan di atas 120kmph. Maka sore ini, nikmat Tuhan mana lagi yang bisa Shana dustakan. Tuhanlah yang menyelamatkannya dengan cara terjebak macet. Setidaknya, El urung kebut-kebutan dan membuatnya lebih takut.
   
Dalam dua jam ke depan, Shana baru bisa bernapas sedikit lebih lega kala mobil El memasuki garasi kediamannya sendiri. Setidaknya, berkurang sedikit risiko kecelakaannya karena El tidak perlu menyetir lebih lama. Meskipun, kini El menahannya untuk tidak keluar dari mobil.
   
Shana baru saja hendak mendorong pintu untuk memberinya akses keluar dari mobil, tapi El berdeham tegas dan membuat gerak tangan Shana segera berhenti. Shana menatap polos ke arah El, mendapati laki-laki itu mengulurkan tangannya sendiri untuk kembali menarik pintu mobil dan menguncinya.
   
“Kenapa?” suara Shana tanpa sadar bergetar. Shana berani bersumpah ini adalah kali pertama ia merasa setakut ini berada di sisi El. Bahkan, Shana cukup takut untuk sekadar membantah tarikan El pada pintu barusan.
   
“Harusnya gue yang tanya kenapa,” ralat El cepat. “Kenapa lo keluar sama Ares lagi?”
   
Meski yakin ia akan segera mengemukakan jawaban yang sesuai dengan harapan El, tapi Shana tidak bisa memungkiri bahwa jantungnya tetap saja bertalu-talu. Bicaranya juga jadi tergagap saking sudah berpikir negatif bahwa El tidak akan percaya dengan ucapannya.
   
“Buat ... ya, buat ngasih tau ke Ares kalau dia udah nggak perlu kontak gue lagi, dan nggak perlu repot-repot dateng ke Jakarta buat nemuin gue,” terang Shana apa adanya.
   
“Yakin?” tanya El. Padahal, di dalam ruangan ini hanya El sendiri yang tidak yakin dan percaya dengan pengakuan Shana.
   
“Beneran, El. Dia dari kemarin nge-chat gue, kayak nanyain gitu, boleh ketemu atau nggak. Ya … sebenernya gue juga nggak mau, sih, tapi, kalau gue nggak selesaiin semuanya, takutnya dia malah ganggu.”
   
El berdesah. Ditatapnya Shana yang masih menekur. Alih-alih merasa terus terintimidasi, Shana turut berdesah jemu. “El, gue nggak bohong.”
   
Tanpa Shana lihat, El mengangguk pelan. Bibirnya membentuk senyum tipis. Lembut, El meraih punggung tangan Shana, menguncinya di telapak tangannya yang besar. “Gue nggak bilang lo lagi bohong, Shan,” katanya tenang. “I want to make sure, lo tau kapan lo perlu bertindak, dan kapan lo harus menyudahi semuanya.”
   
Pandangan Shana terangkat, balik menatap El begitu lekat. Belum pernah Shana merasakan tangan El begitu menghangatkannya. Ada rasa asing yang belum pernah ia kenali. “Semuanya udah selesai kok, El.”
   
El lega sekali mendengarnya. Senyumnya mengembang puas. Ia mengangguk, seolah tahu bahwa segala kekacauan antara Ares dan Shana sudah mencapai garis finis.
   
“El, lo udah makan?” Shana memecah hening yang supercanggung, membuat El terkekeh menanggapinya. “Makan, yuk.”
   
“Iya, Shan.”
   
Genggaman tangan El pada Shana terlepas. Keduanya segera turun dari mobil dan Shana masuk duluan, sementara El mengunci pintu mobil serta gerbang rumahnya. Sesaat, ia ingat sesuatu yang menurutnya perlu mendapat responsnya.
   
Pesan Ares beberapa jam silam.
   
   
El: Makasih ya udah kasih tau di mana Shana tadi, jadi gue bisa jemput.
   
El: Udah jelas kan, ya, sekarang?
   
El: Gue serius loh, kemarin. Jangan berani-berani lo sentuh Ishana Anantari. Punya gue.

Dalam hitungan detik, pesan El sudah bertanda centang biru. Ares sudah membacanya. Namun, ketimbang segera membalas pesan-pesan tersebut, aksi yang Ares ambil justru memblokir nomor El. Terbukti dari foto profilnya yang tiba-tiba terhapus, diikuti dengan hilangnya tulisan online serta bio yang Ares pasang di WhatsApp-nya.
   
El tersenyum semringah. Dasar cupu. Sudah kalah, cari perkara pula. El pikir, inilah harga yang harus dia tebus atas perlakuannya terhadap Shana berhari-hari lalu.
   
“Shan, mau makan apa?!” El setengah berteriak, melangkah masuk ke kediamannya, mendapati Shana sudah berada di dalam kamar utama yang kini pintunya terbuka. “Pasta mau nggak?”
   
Shana menoleh sekilas, lalu mengangguk. Setelahnya, perempuan itu kembali menyusuri tiap sudut kamar utama yang didominasi dengan cat putih dan kuning tersebut. Warna favoritnya. Tanpa sadar, senyumnya mengembang kala melihat ada satu pigura berukuran cukup besar yang diletakkan di sudut ruangan. Sepertinya belum sempat digantung di dinding.
   
Shana melihatnya dari dekat tanpa menyentuh. Perempuan itu bercangkung di depannya. Ada figur tiga anak kecil di dalamnya. Tiga orang yang jelas-jelas Shana kenali tanpa harus bertanya siapa mereka. Ada Shandy dan El yang mengenakan kemeja putih, celana bahan hitam, serta suspender dan dasi kupu-kupu. Di antara mereka, berdiri Shana kecil yang mengenakan gaun putih dengan dekorasi bunga-bunga kecil berwarna kuning.
   
“Foto jaman kapan, ya, itu? Gue ambil dari gudang di rumah bokap nyokap gue, tuh,” ujar El tanpa beranjak dari ambang pintu yang jadi tempatnya bersandar.
   
Perempuan yang masih takjub itu berbalik badan, menghadap El yang berdiri tidak jauh dari posisinya. Senyumnya semakin melebar. Dalam hitungan detik, langkahnya membawa Shana mendekat kepada El, untuk segera melompat ke pelukan laki-laki itu. “I think I’m so so so in love with you, El.”
   
Meski kaget dengan pelukannya yang terlalu tiba-tiba, pada akhirnya El tertawa. Laki-laki itu mengusap puncak kepala Shana lembut. “Jadi, kepercayaan lo sama angka keberuntungan itu masih berlaku?”
   
Shana mengernyit, lalu melepaskan dekapan eratnya dari El. “Masih, dong! Nomor tujuhnya kan elo!”

Freak lo.”

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang