017

596 75 12
                                    

Gelas Matcha Latte milik Shana sudah satu kali di-refill ketika ia akhirnya melihat mobil El disambut Kang Didin memasuki parkiran kafe

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gelas Matcha Latte milik Shana sudah satu kali di-refill ketika ia akhirnya melihat mobil El disambut Kang Didin memasuki parkiran kafe. Shana yang duduk di meja bagian depan ruangan, langsung segar ketika lampu depan mobil El menyorot ke arahnya. Meski silau dan mengganggu, tapi Shana tahu itu El, dan mobil itulah yang ditunggu-tunggunya sejak semalam.

Tiap pergerakannya Shana perhatikan meski agak samar dan buram akibat jarak yang cukup jauh. Ia bisa lihat El melepaskan seat belt yang melindunginya di balik setir. Dalam hitungan detik, laki-laki itu turun dari mobil dengan kaus hijau army berlogo Converse kecil di bagian dada, yang dimasukkan ke celana sebetis berwarna krem. Di pinggangnya, sebuah sabuk cokelat mengikat. Sepatunya tinggi semata kaki, senada dengan celana kremnya. Di tangannya, tersampir jaket berwarna cokelat muda. Laki-laki itu melangkah masuk, diam-diam sudah tahu di mana Shana duduk, bahkan langsung menghampirinya.

El ikut tersenyum kala melihat mata jernih Shana yang benar-benar berbinar. Seperti sedang bertemu orang yang sudah ditunggu-tunggunya sejak lama. Atau mungkin, memang iya?

"Sebentar, ya, gue mau pesen minum." El meletakkan jaketnya di atas meja dan melenggang pergi ke counter. Shana tetap memperhatikan tiap langkah yang dilaluinya. "Iced Coffee, dong, satu."

Ketika kembali, laki-laki itu langsung duduk di hadapan Shana dan menyandarkan tubuhnya ke punggung kursi rotan yang ditempatinya. "Kok lo senyum-senyum, sih? Semalem mau nangis gitu, ya," ejek El, sukses membuat senyum Shana langsung luntur, berganti mengerucut. "Ada apa, sih, Shan? Kok sampai keukeuh banget gue harus pulang."

Shana menarik napas panjang. "Gue harus mulai dari mana, ya?" kedua tangannya dilipat di atas meja. Kedua matanya saling tukar pandang dengan mata El yang hitam legam dan bulat. "Kaisar mau nikah, El."

Mata El yang bulat, semakin membulat. Ia mengangguk-angguk, tak menunjukkan respons lebih dari itu. "Iya, terus?" Kini dahinya mengernyit. El ikut melipat kedua tangannya, dan mendekatkan dirinya kepada Shana, menatapnya lebih dekat. "Apa yang salah dari Kaisar yang nikah? Punya uang, punya calon, so what?"

Itu adalah respons yang jauh di luar dugaan Shana. Perempuan itu memilih untuk tetap diam. Dengan begini, maka Shana tebak, El akan mengerti apa yang sebenarnya ingin Shana sampaikan. Dan, tepat sekali. Buktinya, laki-laki itu kini terkekeh sambil kembali menyandarkan punggungnya ke kursi. "Shan, apa yang bikin lo patah hati karena putus dan ditinggal nikah sama cowok kayak gitu, sih?"

Bibir Shana mengerucut. Kedua tangannya menyiku di atas meja dan kini menopang dagunya. "Pertama, El, kita baru putus belum lama setelah pacaran tiga tahun. Masa cepet banget, sih, udah nikah? Keputusan untuk nikah itu kan nggak bisa diambil dalam waktu singkat, kan, El? Tapi kedua, ternyata dia udah selingkuh setahun. Sinting, ya!"

"Makasih." El sejenak mengalihkan perhatiannya kepada barista yang mengantarkan pesanannya. Laki-laki itu menyesap kopinya yang masih dingin, sebelum kembali menatap Shana. "Harusnya sih nggak, ya, Shan. Tapi, emangnya kita tau, apa Kaisar emang memutuskan untuk nikah sama cewek itu setelah kalian putus?"

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang