024

655 90 14
                                    

Pertanyaan Shana belum terjawab bahkan sampai perempuan itu meletakkan sling bag kuningnya di atas sofa yang masih terbalut plastik pembungkus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pertanyaan Shana belum terjawab bahkan sampai perempuan itu meletakkan sling bag kuningnya di atas sofa yang masih terbalut plastik pembungkus. Aroma barang-barang baru serta kayu menguar di seisi ruangan yang kelihatannya belum rampung dibereskan. Shana masih menyapu pandangannya, berdiri di ruang tengah yang menyambung ke dapur, dan hanya dibatasi dengan mini bar tempat El kini sibuk menyiapkan makan siang mereka.

"Sori ya berantakan," tutur El tanpa mengalihkan perhatiannya. Shana tidak menjawab. "Elo, sih, gue kan bilang nanti gue nyusul. Lo keukeuh mau nyamper gue. emang nggak apa-apa, nih, Shan, lo makan di sini?"

Edar pandangan Shana terhenti pada laki-laki berambut ikal yang berdiri di balik mini bar. Wajah herannya belum berubah. Matanya membulat, dan masih ada sisa-sisa air yang menggenang, hasil menangis beberapa menit lalu. Perempuan itu mendekat, lalu duduk di kursi bar, tepat di hadapan sahabat kecilnya.

"El, ini sebenernya rumah siapa, sih?"

Dua kali El mendengar pertanyaan tersebut dari Shana dalam lima belas menit terakhir. Senyumnya mengembang, lalu turut duduk di kursi bar, tepat di sebelah Shana. "Rumah gue," jawabnya singkat, jelas, dan sangat di luar dugaan Shana.

Kening perempuan dengan wajah oriental itu mengernyit. "Kok gue nggak tau, El?"

"Sama. Gue juga nggak tau kalau hubungan lo sama Ares udah jauh, terus tiba-tiba lo malah ditinggalin nggak jelas," sahut El tak acuh sambil mulai menyantap makanannya sendiri. Sedetik kemudian ia sadar Ishana Anantari cemberut mendengar respons El yang sudah ia yakini tidak sejalan dengan harapannya. "Kenapa gue nggak tau kalau lo sampai mau bela-belain jemput dia di stasiun, sampai udah ditinggal nggak jelas pun, lo sampai bela-belain nyamper ke tempat kerjanya?"

Shana makin geming merenungkan respons El atas apa yang selama ini disembunyikannya sendirian. Hidangan yang tadi ia pesan secara khusus mendadak tidak menarik. Sendok di tangannya sibuk Shana mainkan, berputar di atas piring. "Gue takut lo kecewa kalau bilang, El. Lagian, lo juga pasti nggak akan setuju. Gue tuh, penginnya buktiin dulu kalau Mas Ares nggak kayak mantan-mantan gue. Tapi...."

"Tapi ternyata nggak ada bedanya, ya, Shan?"

Makin lesu, Shana mengakuinya. Entah kenapa rasanya malu setengah mati harus mengakui bahwa percobaannya bersama laki-laki yang baru, justru berakhir sama dengan yang sudah-sudah. Ternyata, fakta bahwa El sudah tahu tiap inci dari sudut kehidupannya tetap saja tidak membuat Shana bisa jadi dirinya sendiri, akhir-akhir ini. Rasanya, Shana selalu ingin membuktikan pada El bahwa ia bisa menentukan yang terbaik untuk dirinya sendiri.

Melupakan kesadaran bahwa jauh di luar keyakinan itu, ia hanyalah perempuan naif yang bisa-bisanya belasan kali dibodohi laki-laki berbeda.

"Shan, dimakan. Gue udah bela-belain pesen Pepper Lunch buat lo, loh. Masa nggak dimakan?" El segera sadar sendok Shana tak kunjung masuk ke mulutnya, justru berputar-putar di atas piringnya yang masih penuh. "Gue nggak kecewa, kok. Gue kenal lo dari dulu, kali, Shan. Dua puluh empat tahun adalah waktu yang sangat cukup bagi gue untuk tau lo orang yang kayak gimana. Shan, gue nggak akan pernah nyalahin lo karena lo keukeuh buat nyoba ketika lo penasaran sama sesuatu. Ya, meskipun, sebenernya gue agak menyayangkan aja, sih, lo udah buang-buang waktu. Lagi."

Mas Tamu & Tuan RumahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang